Senin, 31 Maret 2014

kabar dari inggris



 
Namanya Shabina Begum. Ia muslimah keturunan Bangladesh, namun dilahirkan dan besar di Inggris. Umurnya 14 tahun saat ia mulai bersekolah di Denbigh High School, Luton, Bedfordshire; setara SMP-SMA di Indonesia. Awalnya sih nggak ada masalah antara Shabina dengan pihak sekolah. Suatu saat di bulan September, setelah liburan panjang musim panas di mana tahun ajaran baru dimulai, Shabina datang ke sekolah dengan berjilbab. Ia hadir berbusana muslimah lengkap, dengan kerudung yang menutup kepala, rambut, leher hingga dada, dan seragam sekolah jubah/gamis terusan lebar dan panjang.
Eh, Bro en Sis, ternyata pihak sekolah nggak suka melihatnya berbusana kayak gitu lalu memberikan pilihan kepada Shabina untuk keluar dari sekolah atau mengganti jilbabnya dengan shalwar kameez,  sejenis baju kurung busana tradisional perempuan di Pakistan dan Afghanistan. Terdiri atas baju kurung berlengan panjang dan menutupi lutut serta biasa dikenakan dengan celana panjang. Shabina menolak mengenakan Shalwar kameez. Ia kekeuh dengan jilbabnya.
Nah, lalu apa yang terjadi? Sengketa antara Shabina dan pihak Denbigh High School harus berlanjut ke jalur hukum. Selama dua tahun Shabina harus berurusan dengan pengadilan. Selama itu pula ia harus berhadapan dengan ratusan wartawan dan jurnalis dari berbagai media cetak dan elektronik, baik dari Inggris maupun dari negara-negara lain. Shabbina bukan hanya berhadapan dengan Denbigh High School. Tidak sedikit media Inggris yang tidak punya hati menyerang pilihannya berjilbab. Saat ia memenangkan perkaranya di tingkat pengadilan daerah, editorial harian The Daily Mail menggambarkan keputusan pengadilan tinggi yang memenangkan Shabina sebagai “memenangkan kaum minoritas dengan mengabaikan kepentingan kaum mayoritas”. Tidak sedikit pula media yang semena-mena menyatakan Shabina telah menjadi boneka dari apa yang mereka sebut sebagai “kelompok ekstremis Islam”. Waduh, sebegitu paranoidnya mereka ya? Kalo di Indonesia yang mayoritas muslim, udah dipepes bumbu pedas kali, tuh media!
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Kisah Shabina terus menggelinding. Denbigh High School mengajukan banding. Perkara di antara keduanya berlanjut hingga ke pengadilan tertinggi di Inggris, yakni House of Lords. Di pengadilan paling tinggi di Inggris ini, ia dibela oleh Cherie Booth Blair, istri Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang juga pengacara pembela hak asasi manusia. Shabina kalah. House of Lords memenangkan Denbigh High School, dan tetap memberikan pilihan keluar dari sekolah atau memakai shalwar kameez. House of Lords menyatakan, keluarga Shabina telah mengetahui kebijakan seragam di sekolah itu. Karena itu, mereka seharusnya menyekolahkan Shabina ke tempat lain jika mereka keberatan dengan kebijakan seragam di Denbigh High. Shabina memilih pindah ke sekolah lain. Hmm… kasusnya mirip kayak temen-temen kita di Bali ya, dimana mereka adalah minoritas. Kasihan banget.

Sekulerisme, liberalisme, demokrasi
Hah? Apa pula ketiga istilah itu ya? Kamu pusing, mual-mual plus mules baca subjudul ini? Jangan diteruskan ngeden! Jangan ah. Kamu harus tahu soal ini juga dong. Yup! Kalo dipikir-pikir, kenapa sih Barat begitu sulit nerima Islam di ranah umum? Ini akibat paham sekulerisme, liberalisme, dan demokrasi yang menancap demikian kuat di Barat, Bro en Sis. Sekularisme adalah pemikiran yang memisahkan agama dari kehidupan. Jadi, ya kehidupan itu musti steril dari urusan agama. Liberalisme, maksudnya pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri. Dengan kata lain, liberalisme memberikan kebebasan bagi manusia untuk membuat aturan sendiri untuk menata kehidupannya. Nah, kebebasan inilah yang dijamin oleh demokrasi. Dijamin rusak!
Jika kita melihat lebih dalam pada demokrasi, kita akan menemukan empat pilar kebebasan demokrasi; kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan bertingkah laku (personal freedom).
Oya, kamu perlu tahu kenapa kawan kita, Shabina di Inggris itu ngotot pake jilbab? Ingat ya, jilbab. Bukan kerudung. Sebab, keduanya berbeda makna. Ini penjelasannya Bro en Sis. Jilbab di dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith karya Dr. Ibrahim Anis diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita). Jadi, jilbab adalah kain terusan dari kepala sampai bawah (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (melapisi pakaian rumah, seperti daster, atau baju kaos dan celana panjang, yang dipakai setelah memakai pakaian dalam) yang diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki. Sementara tentang kewajiban berjilbab dan berkhimar (berkerudung) di tempat umum, kamu yang muslimah pasti sudah tahu banget dalilnya. Ya, betul. Itu dalam surah al-Ahzab ayat 59 dan surah an-Nur ayat 31.
Namun di Inggris berjilbab di SMP-SMA umumnya masih sulit untuk bisa dijalankan. Di negara Barat pada umumnya, jilbab masih sering memantik polemik. Perancis, misalnya, hingga hari ini (lebih dari 10 tahun) masih melarang pemakaian jilbab di tempat umum. Tahun lalu saja, seorang muslimah perawat dipecat dari pekerjaannya karena menolak menanggalkan jilbabnya (Tempo, 10/4/2013)

Cuma ilusi
Sobat gaulislam, kalau emang konsisten dengan demokrasi, harusnya nggak ada masalah dong dengan pemakaian jilbab di sekolah dan tempat umum lainnya? Bro en Sis, justru inilah masalahnya. Karena diserahkan kepada manusia, maka tidak konsisten. Tak jarang bahkan berlawanan dengan akidah Islam.
Persoalannya adalah karena bebas beragama, maka bebas pula untuk tidak beragama alias atheis. Daniel Radcliffe, pemeran Harry Potter adalah salah satu aktor yang terang-terangan mengaku atheis. Mau jadi atheis? Sah-sah saja dalam sistem liberal. Sebaliknya, ketika ingin beragama Islam yang kaaffah, total dan menyeluruh, sungguh sulit. Adanya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat seringkali menyebabkan Islam dilecehkan dan dihina. Misalnya, berkali-kali media Barat membuat kartun yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan bom di kepalanya. Ini dilakukan oleh Jyllands-Posten, surat kabar terbesar di Denmark, diikuti majalah Charlie Hebdo yang terbit di Perancis.
Kebebasan bertingkah laku? Ini pun hanya berlaku sesuai dengan yang disepakati mayoritas penduduk. Di Barat, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LBGT) dilindungi keberadaannya. Barat pun tidak melarang peredaran dan konsumsi minuman keras. Yang dilakukan Barat adalah, ‘mengatur’ peredaran dan konsumsi minuman keras. Apalagi pacaran. Ah, ini malah salah satu kebebasan yang dilindungi oleh demokrasi Barat. Padahal LGBT, minuman keras, pacaran, ini semua adalah hal yang diharamkan oleh Islam. Beginilah, demokrasi dan Islam itu bagaikan air dan minyak, bak langit dan bumi, tak bisa disatukan dan sangat jauh perbedaannya.

Berbahagialah dengan Islam
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Bersyukurlah muslimah yang hidup di Indonesia. Bisa berjilbab sempurna. Mengkaji Islam banyak forumnya. Suara kumandang adzan bisa didengar lima waktu setiap harinya. Nuansa keislaman sungguh terasa. Bila mau mengkaji Islam lebih intensif, akan merasakan indahnya ukhuwah Islamiyyah, bahwa sesama muslim adalah saudara.
Mungkin kamu akan berdalih, ah di Indonesia juga nggak gitu-gitu amat enaknya. Ya, setuju. Seratus persen benar. Belum semua sekolah di Indonesia membolehkan siswinya berjilbab. Misalnya di Bali. Dalam laporan investigasi tim advokasi dari Pelajar Islam Indonesia (PII), tertera ada 21 SMP dan SMA negeri di Bali yang terbukti melarang jilbab dengan aturan tertulis dan larangan lisan. Minuman keras, pornografi, kekerasan dan tawuran pelajar masih kerap menghiasi media. Pacaran adalah fenomena umum yang sukar sekali menghindarinya. Asmirandah keluar dari Islam, kita juga nggak bisa ngapa-ngapain selain mendoakan dia segera sadar dari kekhilafannya dan bertobat. Lha, mau gimana lagi kebebasan berganti agama juga dilindungi di Indonesia, kok. Inilah hasilnya kalau sekulerisme, liberalisme, dan demokrasi, dipelihara. Harusnya, ketiganya dibuang aja agar tertinggal jauh di belakang masa silam kita. Islam nggak butuh ketiga paham itu kok.
Namun, biar bagaimanapun, geliat Islam di Indonesia jauh lebih semarak daripada di Inggris. Di Inggris, dakwah Islam belum secanggih di Indonesia. Ngajinya masih tradisional, maksudnya diajarkan di masjid-masjid sekitar rumah, atau diajar sendiri oleh orang tuanya. Forum-forum ngaji untuk remaja sangat jarang. Apalagi buku dan majalah Islam untuk remaja, masih sangat langka. Maka jangan heran kalau menjumpai remaja muslim di Inggris, udah gede, udah baligh, tapi belum bisa membaca al-Quran. Belum bisa sholat. Surat al-Fatihah dan surat-surat pendek aja nggak hafal. Ya karena memang muslim adalah minoritas di Inggris.
Jadi, buat kamu yang di Indonesia, ayo memanfaatkan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Mumpung nggak pake sulit, yang muslimah ayo berjilbab sesuai aturan Islam. Bukan cuma membungkus kepala dan leher, tonjolan-tonjolan bodi juga termasuk aurat yang harus dijilbabi. Untuk kamu yang muslim, yuk kita belajar Islam lebih baik. Bisa lewat forum-forum pengajian di sekolah dan rajin mengikuti agenda dakwah. Juga dengan membaca buku-buku keislaman yang dijual melimpah. Kalo dana cekak, pinjem (tetapi jangan lupa dikembalikan). Kalo masih males, minimal baca aja gaulislam secara rutin (hehehe… promosi gratis).
Eh, jangan lupa, kita doakan agar Islam juga berkembang lebih baik lagi di Inggris. Setuju? Sepakat, dong, ya! [Nurismawati Machfira, Nottingham, UK]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar