Rabu, 14 Oktober 2015

bulan suro,bulan sial ?



Buletin At-Tauhid edisi 39 Tahun XIthemonthofmuharram
Terdapat mitos yang melekat di masyarakat Jawa seputar bulan Suro, yaitu sebutan Jawa untuk bulan yang mulia, Muharram. Masyarakat tradisional Jawa umumnya pantang mengadakan pesta apapun, baik pernikahan, selametan, dan pesta-pesta lainnya pada bulan ini. Sebaliknya, dilakukanlah berbagai ritual untuk menolak bala seperti jamasan, memandikan keris-keris dan senjata pusaka, dan sebagainya. Belum diketahui secara jelas darimana mitos ini berasal. Beberapa tokoh seperti KH Mustofa Bisri mengaitkan mitos dan ritual Jawa ini dengan peristiwa kematian Husein radhiyallahu’anhu hingga disebutlah bulan Suro sebagai bulan sial. Namun beliau juga tidak mengetahui sumber rujukan darimana pendapat ini berasal, dan menyebut ritual Jawa tersebut sebagai ritual yang mengandung unsur kesyirikan. Wallaahu a’lam, namun yang jelas bagi kita sebagai seorang muslim tidak boleh mempercayai adanya sebab-sebab berupa bulan, hari, dan waktu tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah sesungguhnya thaa’ir (kesialan) mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui” (QS. Al A’raaf : 131). Mempercayai mitos pembawa kesialan termasuk perbuatan menyekutukan Allah Ta’ala. Anggapan sial akan mengurangi kadar tawakkal dalam diri seseorang, dan memalingkan hatinya dari Allah sebagai satu-satunya Dzat tempat bergantungnya segala makhluk. Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “At thiyarah (anggapan sial) itu perbuatan syirik, at thiyarah itu perbuatan syirik” (HR Abu Daud, shahih).
Bulan Muharram Bulan Mulia
Bulan Muharram merupakan salah satu diantara bulan-bulan haram, yaitu : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu” (QS. At Taubah : 36). Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya waktu itu berputar semenjak hari dimana Allah ciptakan langit dan bumi, sungguh bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram, yang tiga berurutan : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab Mudhar yaitu Antara Jumada dan Sya’ban” (HR Bukhari dan Muslim).
Apa makna dari bulan haram? Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Bulan haram ada empat, yang tiga berurutan, dan yang satu bersendiri. Hal ini karena terdapat pelaksanaan manasik haji dan umrah, maka diharamkan berperang di sebulan sebelum manasik haji, yaitu Dzulqa’dah, disebut demikian karena mereka qa’dah (duduk, istirahat) dari perang. Diharamkan berperang di bulan Dzulhijjah karena manusia sibuk dengan ibadah haji, dan sebulan setelahnya yaitu Muharram untuk memberi waktu jamaah haji kembali ke negerinya masing-masing dengan aman. Diharamkan pula berperang di bulan Rajab karena itu pertengahan tahun dan masyarakat jahiliyah biasa bepergian di bulan tersebut”.
Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Bulan haram yang paling mulia ialah Muharram. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengawali tahun dengan bulan haram (yaitu Muharram), dan menutup tahun dengan bulan haram pula (yaitu Dzulhijjah). Dan tidak ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah daripada bulan Ramadhan, selain bulan Muharram”. Pendapat ini juga dikuatkan oleh sekelompok ulama kontemporer. Nabi shallallaahu‘alaihi wa sallam menyebut bulan Muharram dengan sebutan “syahrullah”, bulannya Allah. Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan ialah puasa di syahrullah, bulan Allah Muharram. Sedangkan shalat paling utama setelah shalat wajib ialah shalat malam (tahajjud)” (HR Muslim). Para ulama menjelaskan alasan penyebutan bulan Muharram dengan bulan Allah sebagai berikut :
  1. Dalil bagi keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah menyandarkan makhluk-makhluk-Nya langsung kepada-Nya, melainkan untuk menunjukkan keistimewaan makhluk tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Yaqub dan nabi-nabi lain disebut dalam Al Qur’an dengan “Abdullah” hamba Allah, begitu pula “Baitullah” untuk menyebut Ka’bah.
  2. Masyarakat jahiliyah dahulu menghalalkan bulan Muharram untuk berperang, dan mengharamkan bulan Safar. Maka Allah menegaskan bulan Muharram dengan menamainya syahrullah, sebagai isyarat bahwa kemuliaan bulan Muharram tidak boleh diganti oleh siapapun (dari Lathaa’iful Ma’arif )
Bulan Muharram Bulannya Amal Shalih, Bukan Bulannya Kesyirikan
Ibn Katsir rahimahullah menjelaskan kembali dalam tafsirnya, “Larangan berbuat zhalim di bulan haram maksudnya segala bentuk dosa dan maksiat lebih dilarang di bulan-bulan ini. Sebagaimana kemaksiatan yang dikerjakan di negeri haram (Ka’bah dan sekitarnya) dosanya berlipat ganda, begitu pula di bulan haram kemaksiatan yang dikerjakan dosanya juga berlipat ganda. Pembayaran diyat (denda) bagi kasus pembunuhan dilipatgandakan menurut madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama lain. Demikian pula hukuman bagi yang berperang di bulan haram akan dilipatgandakan. Ali ibn Thalhah menjelaskan bahwa dosa dilipatgandakan di bulan ini, demikian pula amal shalih pahalanya juga dilipatgandakan di bulan-bulan haram”.
Maka apabila kemaksiatan di bulan ini dosanya dilipatgandakan, terlebih lagi dengan kemaksiatan terbesar yang merupakan pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala, yaitu kesyirikan alias menyekutukan-Nya dengan suatu makhluk. Seperti halnya ritual yang mengkultuskan makhluk, hewan-hewan tertentu seperti kebo bule, dan sebagainya. Termasuk diantaranya menganggap bulan Muharram sebagai bulan pembawa sial. Perbuatan ini tergolong thiyarah yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan. Tentu akan sangat besar dosanya di sisi Allah. Wal ‘iyadzu billah.
Hati-Hati dengan Anggapan Sial
Tidak boleh beranggapan bahwa hari tertentu, bulan tertentu, tahun tertentu, adalah faktor penyebab kesialan bagi manusia. Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang meyakini bahwa mitos kesialan tertentu dapat memberi manfaat atau mendatangkan marabahaya bila terjadi, ia meyakini akan dampaknya, maka ia telah berbuat kesyirikan karena menganggap suatu mitos sebagai penyebab terjadinya suatu hal” (Syarh Shahih Muslim no. 2224). Apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan sebagai satu-satunya penentu bagi terjadinya marabahaya, maka ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam karena pelakunya telah meyakini adanya pengatur alam semesta selain Allah Ta’ala. Sedangkan apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan adaah sebagai sebab yang berdampak negatif (dengan tetap meyakini hanya Allah yang berkuasa memberikan manfaat dan bahaya), padahal itu hanyalah mitos yang tidak ditetapkan syariat, dan tidak pula masuk akal, maka ini  adalah syirik kecil yang termasuk dosa besar dengan tingkat dosa yang lebih besar dari zina dan membunuh seorang muslim tanpa hak. Dan wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat darinya (lihat Qaulul Mufid 1/575).
Bulan Muharram dan Puasa Asyura
Asyura ialah sebutan untuk tanggal 10 Muharram, sedangkan Tasu’a untuk tanggal 9 Muharram. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa di hari Asyura, beliau pun bertanya, “Puasa apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, yaitu hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka (yaitu Firaun) maka Nabi Musa pun berpuasa di hari ini”. Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam pun bersabda, “Kalau begitu aku lebih berhak atas Musa daripada kalian” dan beliau pun berpuasa dan memerintahkan para shahabat berpuasa (HR Bukhari). Dalam riwayat lain bahwa ketika Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah menjawab, “Kalau begitu tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga di hari Tasu’a”. Maka belum sempat datang tahun depannya lagi, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam telah wafat (HR Muslim).
Oleh karena itu tingkatan dalam puasa Asyura minimal adalah berpuasa di tanggal 10 Muharram saja, atau lebih baik lagi bila menambah di tanggal 9 Muharram dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nasrani, atau lebih utama lagi menambah di hari-hari lain di bulan Muharram. Keutamaan puasa Asyura sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam, “Puasa di hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya” (HR Muslim). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya ialah menghapus dosa-dosa kecil, yaitu semua dosa kecuali dosa-dosa besar. Apabila ia tidak memiliki dosa besar dan kecil maka akan ditulis baginya kebaikan dan diangkat derajatnya. Apabila dosa kecilnya tidak ada maka dosa besarnya yang akan diringankan” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzab). Sementara dosa-dosa besar dihapus dengan taubat nasuha.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq dalam mengisi bulan Muharram yang mulia ini. Aamiin.
Penulis : Yhouga Pratama, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

pendidikan anak tanggungjawab siapa?

Buletin At-Tauhid edisi 38 Tahun XIdownload-ceramah-agama-islam-pendidikan-anak-dalam-islam-ustadz-abu-qatadah
Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih

Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).
Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya Allah Ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad, hasan). Oleh karena itu, disebabkan pentingnya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah Ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”(At Tahrim: 6). Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim).
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(HR. Bukhari).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.” (Tuhfah al Maudud).

Tanggung Jawab Orang Tua

Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak. Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “Perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud).

Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!

Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah Ta’ala, (artinya) “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Furqan: 74). Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Tuhfah al Maudud).
Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam pembentukan keshalihan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri. Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini, “Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?” Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34). Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi (artinya), “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa yang dimaksud ” sedang ayahnya adalah seorang yang saleh ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi. Kelak di surga, Allah Ta’ala pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua. Allah Ta’ala berfirman (artinya) “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21). Maka disini, Allah Ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalihan kedua orang tuanya. Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan ikhlas sehingga mudah-mudahan Allah Ta’ala akan menjaga dan memelihara anak-anak kita.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Artikel Muslim.or.id dengan sedikit perubahan oleh redaksi