Senin, 21 September 2015

panduan hari raya kurban

Buletin At-Tauhid edisi 37 Tahun XI
864154_eid-ul-adha-bakra-eid-greeting-cards-2012-wallpapers-pictures-facebook-azha_jpeg5961512cd1d09c2385b0045976653109
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Sebelumnya kita akan simak hadits berikut, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya adalah bulan hari raya: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena itu, sudah selayaknya kita bangun motivasi yang besar untuk beramal di bulan Dzulhijjah, sebagaimana motivasi kaum muslimin untuk beramal di bulan Ramadhan. Terutama di tanggal 10 Dzulhijjah, yang merupakan kesempatan istimewa bagi kaum muslimin karena ketika itu mereka sedang melaksanakan perintah Allah di surat al-Kautsar (artinya), “Kerjakanlah shalat untuk Rabmu dan sembelihlah qurban.”

Agar suasana hari raya Idul Adha kita semakin berkah, mari kita pelajari setiap sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ber-Idul Adha.
Pertama, Dilarang berpuasa di hari raya
Dari Abu Sa’id al-Khudzri radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad dan Muslim). Imam an-Nawawi mengatakan: “Para ulama telah sepakat tentang haramnya puasa di dua hari raya sama sekali. Baik puasanya itu puasa nadzar, puasa sunah, puasa kaffarah, atau puasa yang lainnya. (Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi).

Kedua, jangan sampai tidak hadir shalat Id
Shalat Id hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim. Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanaknnya. Karena sejak shalat Id ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, beliau senantiasa melaksanakannya sampai beliau meninggal.
2. Kebiasaan para khulafa ar-Rosyidin setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalat Id merupakan ibadah yang sangat disyariatkan dalam Islam.
3. Hadits Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan, “Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha….(HR. Bukhari dan Muslim). Adanya perintah menunjukkan bahwa itu wajib, karena hukum asal perintah adalah wajib
4. Shalat Id merupakan salah satu syiar Islam yang paling besar.

Ketiga, perhatikan Adab dalam menghadiri shalat Idul Adha
1. Mandi pada Hari Id
Dari Nafi’, beliau mengatakan “Bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i, shahih). Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin al-Musayyib mengatakan:
 “Sunah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi.” (Ahkamul Idain, no.17, karya al-faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani).
Catatan:
Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i dan pendapat yang dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.

2. Berhias dan Memakai Wewangian
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jum’atan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah, hasan).

3. Memakai Pakaian yang Paling Bagus
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jum’at.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam kitab shahihnya). Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan: Umar bin Khathab pernah mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar. Kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, saya membeli ini, sehingga engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra. (HR. Bukhari, Muslim, dan yang lainnya). Imam as-Sindi mengatakan: “…dari hadits ini disimpulkan bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku… (Hasyiah as-Sindy ‘ala an-Nasa’i).

4. Tidak Makan Sampai Selesai dari Shalat Idul Adha
Dari Buraidah, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, shahih).

Khusus bagi yang berkurban, disunnahkan tidak makan sampai selesai menyembelih hewan qurbannya. Sebagaimana hadits dari sahabat Buraidah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai menyembelih. (HR. Ibn Hibban, hasan).

5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan
Dari Sa’d radliallahu ‘anhu, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah, shahih).

Waktu Shalat Id
Dari Yazid bin Khumair, beliau mengatakan: suatu ketika Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama masyarakat menuju lapangan shalat Id. Kemudian beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan: “Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat Id) pada waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad shahih). Yang dimaksud: “waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan”: setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit.

Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerahkan shalat Idul Adha. Sementara Ibnu Umar -orang yang sangat antusias mengikuti sunah- tidak keluar menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah sampai tiba di lapangan. (Zadul Ma’ad).

Tempat Pelaksanaan Shalat Id
1. Ketika di Mekah
Tempat pelaksanaan shalat Id di Mekah yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram. Karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat Id di Masjidil Haram ketika di makah. Imam an-Nawawi mengatakan: …ketika di Mekah, maka masjidil haram paling afdhal (untuk tempat shalat Id) tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab).

2. Di Luar Mekah
Tempat shalat Id yang sesuai sunah adalah lapangan. Kecuali jika ada halangan seperti hujan atau halangan lainnya. Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat Id. (HR. Bukhari). Ibnul Haj al-Makki mengatakan:
“…sunah yang berlaku sejak dulu terkait shalat Id adalah dilaksanakan di lapangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih utama dari pada seribu kali shalat di selain masjidku, kecuali Masjidil Haram.” meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjid.” (al-Madkhal).

Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar menjadi imam shalat Id di masjid bagi orang yang lemah -tidak mampu keluar menuju lapangan-, sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah.

Adab Ketika Menuju Lapangan
1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda
Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan pulang). (HR. Bukhari).

2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih awal. Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai. Karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat.

3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan
Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki. Dalil lainnya:
a. Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi, shahih).

b. Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah radliallahu ‘anhu berangkat shalat Id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. al-Faryabi dalam Ahkamul Idain).

4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa
Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan: kami bersama Ibnu Umar, tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya. Maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya: Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar menunjuk orang itu: Kamu yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari yang tidak boleh membawa senjata…(HR. Bukhari). Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh. (HR. Bukhari secara mu’allaq).

Demikian secara ringkas panduan berhari raya qurban, semoga Allah mudahkan bagi kita untuk mengamalkannya.

Penulis : Ustadz Ammi Nur Baits, ST. BA. (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Pertanyaan :
Sebutkan adab dalam menghadiri shalat Idul Adha?

Jawab
Mandi pada Hari Id, Berhias dan Memakai Wewangian, Memakai Pakaian yang Paling Bagus, Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha, Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan.

menyambut bulan dzulhijah

Buletin At-Tauhid edisi 36 Tahun XI
Amalan di Dzulhijjah blog
Sebagian orang memiliki waktu tertentu yang mereka jadikan hari, tanggal, atau tahun istimewa. Tanggal kelahiran, hari pernikahan, pencapaian puncak karir dan kesuksesan, serta waktu lainnya yang memiliki kesan emosianal dan sejarah. Kemudian mereka rayakan dan muliakan hari-hari tersebut. Ketika manusia biasa mampu menautkan perasaan mereka dengan hari-hari yang mereka anggap istimewa, lalu bagaimana sikap mereka ketika Rabb yang menciptakan mereka menjadikan waktu-waktu tertentu sebagai saat yang istimewa? Ya, Allah Ta’ala memuliakan waktu tertentu dari waktu-waktu lainnya. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS:At-Taubah: 36). Allah Ta’alamemilih empat bulan istimewa dari dua belas bilangan bulan lainnya.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khutbah Arafahnya mengatakan, ‘Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan Sya’ban’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Nash-nash syariat yang mulia ini menjelaskan agar kita memanfaatkan 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beberapa alasan di antaranya:
Pertama: Pemilihan bulan ini sebagai bulan yang istimewa menunjukkan kesempurnaan ilmu dan hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Yang demikian semakin membuat ibadah dan keimanan seorang muslim bertambah.
Kedua: mengagungkan apa yang Allah Ta’ala agungkan. Bulan Dzulhijjah ini adalah bulan yang memiliki kedudukan yang agung dalam syariat. Di antara bentuk pengagungan kaum muslimin kepada Allah Ta’ala adalah dengan mengagungkan apa yang Dia agungkan. Ini merupakan salah satu tanda kebaikan dan ketakwaan yang ada pada diri seorang hamba. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya), “Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS:Al-Hajj: 30). Firman-Nya juga (artinya), “Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS:Al-Hajj: 32).
Ketiga: Di antara bentuk pengagungan seorang muslim terhadap bulan ini adalah berhenti dari melakukan maksiat. Karena berbuat maksiat sejatinya adalah menzhalimi diri sendiri. Dan pengharamannya lebih ditekankan lagi pada bulan ini. Allahberfirman (artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS:At-Taubah: 36).
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kezhaliman di bulan haram lebih besar dosa dan keburukannya dibanding bulan-bulan selainnya. Walaupun kezhaliman dalam setiap hal itu adalah sesuatu yang besar. Namun Allah Ta’ala mengagungkan apa yang Dia inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir At-Taubah Ayat: 36).
Keempat: Termasuk bentuk mengagungkan bulan ini adalah dengan memperbanyak amal shalih. Para ulama mengatakan, “Sesungguhnya syariat mengagungkan suatu waktu atau tempat sebagai bentuk motivasi kepada seorang hamba untuk menambah amal ketaatan. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram…” (HR. Muslim). Makna umum yang juga dipahami oleh para salaf, yakni bulan-bulan haram selain Muharam. Karena itu, mereka memperbanyak puasa di bulan-bulan tersebut. Rentang waktu yang paling mulia ketika bulan Dzulhijjah adalah pada 10 hari pertama. Di surat al-Fajr, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 1-2).
Ibn Rajab menjelaskan, malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Inilah tafsir yang benar dan tafsir yang dipilih mayoritas ahli tafsir dari kalangan sahabat dan ulama setelahnya. Dan tafsir inilah yang sesuai dengan riwayat dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma…” (Lathaiful Ma’arif).
Allah Ta’ala bersumpah dengan menyebut sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Yang ini menunjukkan keutamaan sepuluh hari tersebut. Karena semua makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah, adalah makhluk istimewa, yang menjadi bukti kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Karena itulah, amalan yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah menjadi amal yang sangat dicintai Allah Ta’ala. Melebihi amal soleh yang dilakukan di luar waktu itu. Sebagaimana hadits dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen.).” (HR. Bukhari , Ahmad, dan Turmudzi).
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah dan tidak ada yang lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dia kerjakan pada sepuluh hari al-Adha.” (HR. Ad-Daruquthni, hasan). Al-Hafidz Ibn Rajab mengatakan, hadis ini menunjukkan bahwa beramal pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah lebih dicintai di sisi Allah dari pada beramal pada hari-hari yang lain, tanpa pengecualian. Sementara jika suatu amal itu lebih dicintai Allah, artinya amal itu lebih utama di sisi-Nya. (Lathaiful Ma’arif).
Setelah mengetahui keutamaan ini, tentu harapan terbesar adalah pengetahuan itu dapat mengokohkan tekad dan membuahkan amalan. Kemudian mengajak masyarakat memakmurkan hari-hari istimewa ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam melakukan ketaatan kepada-Nya, khususnya pada 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah.
Penulis : Nurfitri Hadi, MA (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)
Ziyadah
Keutamaan Puasa Arafah
Salah satu amalan utama di awal Dzulhijjah adalah puasa Arafah, pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini memiliki  keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji. Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam Al Majmu’ berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl. Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah-  mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah. “Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Maimunah, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, semoga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, semoga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim). Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa).
Setelah kita mengetahui hal ini, tinggal yang penting prakteknya. Juga jika risalah sederhana ini bisa disampaikan pada keluarga dan saudara kita yang lain, itu lebih baik. Biar kita dapat pahala, juga dapat pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik. “Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah (harta amat berharga di masa silam, pen).” (Muttafaqun ‘alaih). “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).
Semoga Allah beri hidayah pada kita untuk terus beramal sholih.
Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, ST., MSc. (Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul Yogyakarta)
Artikel Muslim.Or.Id (dengan sedikit perubahan oleh redaksi)
Pertanyaan :
Sebutkan 4 bulan istimewa dari dua belas bilangan bulan lainnya?
Jawab :
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab

sumber hukum dalam islam

Buletin At-Tauhid edisi 34 Tahun XI
al-quran-yang-mulia1

Alhamdulillah, was sholatu was salamu ala rasulillah, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah…

Para pembaca yang terhormat, semoga Allah merahmati kita semua… Islam adalah agama yang dijadikan sempurna dan paripurna oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama (Islam) untuk kalian, telah aku lengkapkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian”. [QS. Al-Ma’idah: 3]. Karena sempurna dan lengkapnya Ajaran Islam ini, sehingga dia pantas dijadikan sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Siapapun yang menginginkan agama selain Islam, maka agama itu tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Alu Imron: 85].

Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menjadikan Islam -yang merupakan hukum dan keputusan Allah- sebagai aturan hidup manusia di semua sisi kehidupannya, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, untuk memilih pilihan (lain) dalam urusan mereka, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan”. [QS. Al-Ahzab: 36]. Allah juga berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam dengan sempurna”. [QS. Al Baqoroh: 208]

Ibnu Jarir -rahimahullah- menafsiri ayat ini dengan mengatakan: “Wahai kaum mukminin, jalankanlah Syariat Islam semuanya, masuklah untuk membenarkannya baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan tinggalkanlah mengikuti jalan-jalan dan jejak-jejak setan, karena dia adalah musuh yang nyata permusuhannya terhadap kalian. Dan jalan setan yang dilarang Allah untuk diikuti adalah apapun yang menyelisihi hukum dan syariat Islam”. [Tafsir Thobari 3/602]. Dan untuk menerapkan Syariat Islam dalam semua sisi kehidupan, kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Islam itu sendiri, kemudian mengembalikan segala urusan kepadanya.

Alhamdulillah, para ulama -rahimahumullah- telah menerangkan apa saja sumber-sumber hukum itu dengan sangat jelas, diantaranya adalah Imam Syafi’i -rahimahullah-, beliau mengatakan: “Allah tidak membolehkan kepada siapapun untuk berpendapat kecuali dengan ilmu yang telah dia ketahui sebelumnya, dan sumber ilmu itu adalah: Kitab (Qur’an), Sunnah (Hadits), Ijma’, Atsar (perkataan para sahabat), dan meng-qiyaskan kepada dalil-dalil tersebut sebagaimana telah kuterangkan”. [Arrisalah: 508]. Inilah sumber-sumber dalam Islam sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafii -rahimahullah-: Qur’an, hadits, Ijma’, Atsar, dan Qiyas. Adapun dalil-dalil lain yang disebutkan oleh para ulama, maka semuanya kembali kepada lima dalil ini. Dan dari lima dalil ini, ada yang sering tidak disebutkan oleh para ulama, yaitu: dalil atsar atau perkataan para sahabat, karena sebenarnya dalil ini masuk dalam dalil ijma’, karena pendapat para sahabat yang bisa dijadikan dalil hanyalah pada hal-hal yang mereka sepakati, dan ini masuk dalam bab ijma’ mereka. Adapun bila mereka berbeda pendapat, maka yang dipilih dari pendapat mereka adalah yang lebih dekat kepada kitabullah, atau Sunnah Nabi, atau qiyas yang shahih. Oleh karena itulah dalam banyak tempat Imam Syafii -rahimahullah- (begitu pula ulama lainnya) tidak menyebutkan dalil ini, sebagaimana perkatan beliau berikut ini: “Tidak dibolehkan bagi siapapun yang telah diangkat sebagai hakim atau mufti; untuk menghakimi atau berfatwa kecuali dari sumber keterangan yang pasti, yaitu: Alkitab, kemudian Assunnah, atau perkataan para ulama yang tidak ada perselisihan padanya (Ijma’), atau qiyas kepada sebagian dari dalil-dalil ini”. [Kitab: Al-umm, Ibtholul Istihsan 9/67]. Dan empat dalil ini semuanya kembali kepada dua sumber utama, yaitu: Qur’an dan Hadits, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i -rahimahullah-: “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama… yang menyelisihi… bahwa tidaklah ada perkataan yang mengikat, kecuali yang berdasar pada Kitabullah atau Sunnah Rosul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan bahwa yang selain keduanya itu mengikuti keduanya”. [Kitab: Al-Umm, Jima’ul Ilmi: 9/5].

Dari sini kita mengetahui salahnya tuduhan sebagian orang yang mengatakan: “Yang disebut kok selalu Qur’an dan Hadits, apa tidak ada dalil lainnya?!”, karena semua dalil dalam syariat itu kembali kepada keduanya, dan tidak mungkin ada dalil shahih dalam Syariat Islam yang menyelisihi keduanya. Bila ternyata ada orang yang berdalil dengan selain Al Qur’an dan Assunnah, kemudian hasil hukumnya bertentangan dengan keduanya, maka bisa dipastikan bahwa cara berdalil orang tersebut salah, karena dalil-dalil syariat itu tidak mungkin saling bertentangan, karena syariat ini berasal dari Allah begitu pula dalil-dalilnya, dan sesuatu yang datang dari Allah tidak mungkin saling bertentangan, oleh karena itulah Allah berfirman tentang Al Qur’an yang merupakan sumber utama dalam Islam (artinya): “Jika saja dia itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya”. [QS. Annisa: 82].

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan: “Hujjah-hujjah Allah itu tidak saling bertentangan, dan dalil-dalil syariat itu tidak saling kontadiktif. Kebenaran itu saling membenarkan satu dengan lainnya, dan dia tidak menerima adanya pertentangan ataupun kontradiksi”. [I’lamul Muwaqqi’in: 3/86]. Selanjutnya, dalil Al Qur’an dan Sunnah itu kembali kepada satu sumber utama hukum Islam, yaitu: Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala, oleh karena itulah Allah berfirman (artinya): “Apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada Allah”. [QS. Asy Syuro: 10]. Senada dengan ayat ini Imam Syafii -rahimahullah- juga mengatakan: “Maka tidaklah ada masalah baru yang menimpa seseorang, melainkan Kitab (Al Qur’an) telah menjelaskannya, baik secara terperinci, maupun secara global”. [Kitab: Al-Umm, Jima’ul Ilmi, 9/69].

Dari uraian di atas kita bisa memahami, bahwa Islam itu berasal dari Al Qur’an. Kemudian dari Al Qur’an kita mengetahui wajibnya mengambil Hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dan dari keduanya kita mengetahui wajibnya mengikuti ijma’, atsar, qiyas, dan dalil-dalil mu’tabar lainnya. Oleh karena itu, kita harusnya mengembalikan semua perkara kepada dalil-dalil tersebut, terutama dua sumber utamanya, yakni Al Qur’an dan Sunnah yang dipahami dengan pemahamannya para sahabat generasi terbaik umat ini. Hanya dengan cara inilah kita menjadi Ahlussunnah yang sejati, sebagaimana diterangkan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Dan umatku akan terpecah menjadi 73 millah (ajaran), semuanya di neraka kecuali satu millah… yaitu: ajaran yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. [HR. Tirmidzi, hasan]. Sungguh hadits ini, sangat penting untuk dijadikan barometer kita di zaman akhir ini, karena seringkali orang berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits, tapi mereka memahaminya dengan caranya sendiri, bukan dengan berdasarkan pemahaman para sahabat.

Sebagai contoh kecil, kita mendapati orang-orang yang melakukan ‘pengeboman sembarangan’, mereka berdalil dengan ayat dan hadits tentang jihad di jalan Allah, tapi mereka memahaminya dengan cara mereka, bukan dengan pemahaman para sahabat. Seandainya mereka menggunakan pemahaman para sahabat untuk memahami ayat dan hadits tentang jihad itu, tentunya mereka tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan tersebut. Contoh lain, kita dapati kaum syiah yang mewajibkan pembayaran ‘khumus’ (seperlima harta) kepada penganutnya, mereka menggunakan sebagian ayat Al Qur’an sebagai sandarannya, tapi mereka pahami dengan logika mereka sendiri, bukan dengan pemahaman para sahabat. Jika mereka menggunakan pemahaman para sahabat untuk memahami ayat itu tentunya mereka tidak akan menjalankan ‘syariat khumus’ tersebut. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Di akhir tulisan ini, ada baiknya kita mengetahui, bahwa di sana ada beberapa hal yang dijadikan rujukan hukum, padahal sebenarnya hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum, diantara contohnya adalah: mimpi, peraktek masyarakat, perkataan atau perbuatan orang yang tidak maksum, bisikan tanpa rupa, tenangnya atau gundahnya hati, dan kenikmatan atau kesusahan yang dialami seseorang. Ini semua bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan sandaran hukum dalam Islam, karena dalam perkara-perkara ini terdapat kemungkinan salah yang besar dan ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut tidak boleh kita gunakan, kecuali dalam satu keadaan saja, yaitu ketika hal-hal tersebut selaras dengan Syariat Islam, atau tidak bertentangan dengannya.

Dari sini kita memahami bahwa hal-hal tersebut hanya bisa dijadikan sebagai penguat saja, bukan sebagai dasar pengambilan hukum. Sehingga apabila ada dalil-dalil yang sahih bertentangan dengannya, maka kita harus mendahulukan dalil tersebut, dan meninggalkan petunjuk dari beberapa hal tersebut. Imam Syafi’i saja mengatakan: “Jika aku telah meriwayatkan hadits dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu aku tidak memakainya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang”. [Kitab: Al-Uluww lil Aliyyil Ghoffar, 169]. Jika ulama yang sekaliber Imam Syafii saja mengatakan demikian, maka apapun yang jauh di bawah beliau, harusnya petunjuknya ditinggalkan apabila menyelisihi dalil-dalil yang sahih dalam Syariat Islam, wallohu a’lam.

Sekian, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan kaum muslimin pada umumnya. Dan semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang baik hingga hari kiamat, amin. Walhamdulillahi robbil alamin.

Penulis : Ustadz Musyaffa Ad Dariny, M.A.

wajibnya mempelajari agama

Buletin At-Tauhid edisi 34 Tahun XImenuntut-ilmu
Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk menuntut ilmu agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak kita untuk serius mempelajarinya pun mungkin tidak. Apalagi sampai mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk meraihnya. Tulisan ini kami maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan para pembaca bahwa menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas setiap diri kita, apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.

Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
Sebagian di antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekedar sunnah saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim (fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah, shahih). Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah (Hadits), maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang terdapat dalam hadits di atas.

Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114). Maka Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali (tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (Fathul Baari). Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah di atas, jelaslah bawa ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat Kitaabul ‘Ilmi).

Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita Pelajari?
Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib, maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama? Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang dalam ilmu agama, seperti ilmu jarh wa ta’dil sehingga kita mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi ilmu semacam itu wajib dipelajari sebagian orang (fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah Ta’ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.

Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita. Ibnul Qoyyim rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:

Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam
Di antara yang wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut, misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.

Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati oleh para Rasul dan syariat sebelumnya
Kelima hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, (yang artinya): “Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)

Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan. Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya, sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.

Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan keluarga dekatnya) atau dengan orang lain secara umum.
Ilmu yang wajib menurut jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli. Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. (Lihat Miftaah Daaris Sa’aadah).

Dari penjelasan Ibnul Qoyyim rahimahullah di atas, jelaslah bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak hanya diwajibkan kepada ustadz atau ulama. Demikian pula kewajiban berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan, tidak hanya dikhususkan bagi para ustadz atau para da’i. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan tidak diragukan lagi, bahwa untuk berdakwah sangat membutuhkan dan harus disertai dengan ilmu. Bisa jadi, karena kondisi sebagian orang, mereka tidak terjangkau oleh dakwah para ustadz. Sebagai contoh, betapa banyak saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan mereka meninggalkan kewajiban shalat? Di sinilah peran penting tenaga kesehatan, baik itu dokter, perawat, atau ahli gizi yang merawat mereka, untuk menasihati dan mengajarkan cara bersuci dan shalat ketika sakit. Demikian pula seseorang yang berprofesi sebagai sopir, hendaknya mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap menunaikan shalat meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan bekal ilmu agama yang memadai.

Terahir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Ziyadah
Ancaman Jika Sengaja Menunda Ibadah Haji Padahal Mampu

Ajaib memang, ibadah haji bisa dilaksanakan bagi mereka yg mendapat taufik dan memiliki keikhlasan. Ada yang punya harta, tetapi tidak punya waktu dan kesehatan tubuh. Ada yang sehat dan punya waktu tetapi tidak punya harta. Ada yang punya waktu, uang dan kesehatan tetapi tidak segera menunaikan haji, baik karena menunda-nunda atau atau tidak ada keinginan sama sekali.

Ancaman jika sengaja menunda ibadah haji padahal mampu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Azaa wa jalla berfirman (artinya), “Sesungguhnya seorang hamba telah Aku sehatkan badannya, Aku luaskan rezekinya, tetapi berlalu dari lima tahun dan dia tidak menghandiri undangan-Ku (naik haji, karena yang berhaji disebut tamu Allah, pent), maka sungguh dia orang yang benar-benar terhalangi (dari kebaikan)” ( HR. Ibnu Hibban, shahih). Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya saya berkeinginan bisa mengutus sekelompok orang ke daerah-daerah. Mereka mencari orang yang punya kemampuan tetapi tidak pergi haji, menjatuhkan jizyah (upeti) kpeada mereka. Mereka (yang semacam ini) bukanlah muslim, mereka bukanlah muslim.”  (HR. Said bin Mashur, shahih). Dalam riwayat yang lain, “Hendaknya mereka mati dalam keadaan yahudi atau nashrani –dikatakan tiga kali- seorang yang mati kemudian (sengaja) tidak berhaji, (padahal) ia mendapat keluasan (rezeki) dan kemudahan jalan.” (HR. Baihaqi, shahih).

Bersegeralah menunaikan ibadah haji dan Umrah
Ibadah haji dan umrah diperintahkan agar segera ditunaikan. Bagaimana tidak, ibadah haji adalah salah satu rukun Islam. Yang namanya rukun, merupakan pendiri tegaknya sesuatu yang dibangun diatasnya. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”.  (HR Bukhari). Maka sudah selayaknya bersegara dan berkeinginan kuat menunaikan ibadah haji dan umrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kalian berhaji-yaitu haji yang wajib-karena salah seorang diantara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya” (HR.Ahmad, hasan). Beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera, karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”. ( HR. Ibnu Majah, hasan).

Demikian semoga bermanfaat
Penulis: dr. Raehanul Bahraen (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)