Kamis, 27 Agustus 2015

10hari terakhir bulan ramadhan

Buletin At-Tauhid edisi 27 Tahun XI
Ramadhan-Mubarak-Wallpaper-HD-5-For-Desktop-Background
Segala puji Hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk diibadahi. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka hingga hari akhir nanti.
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, tidak terasa sebentar lagi (insya Allah) kita akan memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadhan, artinya hari-hari penuh berkah ini akan segera meninggalkan kita, dan kita pun tidak bisa menjamin apakah kita akan bertemu kembali dengan bulan mulia ini di tahun depan. Oleh karenanya jangan sampai kesempatan emas yang akan Allah Ta’ala berikan ini kita sia-siakan begitu saja. Hendaklah kita benar benar memanfaatkan hari-hari terakhir ini dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala serta meninggalkan segala maksiat. Karena di sepuluh hari terakhir inilah terdapat keistimewaan yang tidak ada pada malam-malam Ramadhan sebelumnya. Hal ini telah dicontohkan dengan baik oleh suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim).

Keistimewaan 10 hari terakhir Ramadhan 
Pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan terdapat banyak keistimewaan yang tidak terdapat pada hari-hari lainnya. Di antara keistimewaan luar biasa yang Allah Ta’ala berikan kepada umat akhir zaman ini adalah adanya 1 malam yang lebih baik dari 1000 bulan, yang kita kenal dengan malam lailatul qadar. Malam saat (permulaan) al-Qur’an diturunkan, serta malam saat malaikat turun membawa rahmat dari-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam qadar (kemuliaan). Dan tahukah kamu apa malam qadar itu?. Yaitu suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr 1-5). Imam an-Nakha’i rahimahullah menjelaskan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (latha’iful ma’arif, ibnu rajab). Artinya ketika kita mengamalkan suatu amalan shalih pada 1 (malam) lailatul qadar, maka amalan kita tersebut lebih baik nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta’ala daripada amalan yang dikerjakan selama 1000 bulan (atau setara 83 tahun lebih 4 bulan) pada hari-hari biasa.

Waktu turunnya lailatul qadar
Lailatul Qadar terjadi pada 10 malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lebih rinci lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa malam lailatul qadar lebih memungkinkan terjadi pada 10 hari terakhir Ramadhan di malam-malam yang ganjil, yang kita tidak mengetahui di hari keberapa malam tersebut datang. Sebagaimana sabda beliau, “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari). Adapun waktu pastinya maka dirahasiakan oleh Allah Ta’ala, diantara hikmahnya agar kita bersemangat untuk beribadah pada semua hari di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Ciri malam lailatul qadar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak terlalu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Baihaqi, shahih). Namun demikian kita tidak perlu bersusah payah mencari tanda-tandanya hingga menyebabkan kita lupa beribadah, akan tetapi cukup bagi kita memperbanyak ibadah pada 10 hari terakhir Ramadhan secara keseluruhan, insya Allah kita akan mendapatkannya.

Amalan di 10 hari terakhir Ramadhan
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala, diantara hal yang dituntunkan oleh agama kita dalam menggapai kemuliaan lailatul qadar adalah memperbanyak amal shalih pada 10 hari terakhir Ramadhan. Beberapa amal shalih yang bisa kita lakukan adalah sebagai berikut:

[1] Melaksanakan shalat malam
Diantara amalan paling utama yang bisa kita lakukan adalah dengan mengerjakan shalat wajib 5 waktu, kemudian juga dengan melaksanakan shalat tarawih berjama’ah dan terus shalat bersama imam hingga selesai shalat. Lebih utama lagi jika kita menambahnya pada malam hari, sebagaimana hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari). Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Jika seseorang melakukan shalat (tarawih dan witir) bersama imam sampai selesai, niscaya dicatat baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. Abu Dawud, shahih).

[2] Banyak berdo’a
Disunnahkan pula bagi kita untuk banyak berdo’a, Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri beliau, A’isyah Radhiallahu ‘anha, ”Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang mesti aku ucapkan saat itu?” maka Beliau menjawab, ”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi, Shahih).

[3] I’tikaf di masjid
Disunahkan melakukan i’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan bagi orang yang memiliki kemampuan dan tidak memiliki halangan. I’tikaf adalah suatu usaha untuk selalu menetap di masjid dan menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah Ta’ala, seperti menegakkan shalat, memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan istighfar. Kemudian juga meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat, seperti mengobrol, cerita, senda gurau dan semisalnya. Tidak keluar dari masjid selama i’tikaf, kecuali bila ada keperluan yang mengharuskan untuk keluar (seperti buang hajat atau sejenisnya).
Hal yang demikian juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hadits dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau” (HR. Bukhari dan Muslim).

[4] Beribadah secara umum.
Pada 10 hari terakhir disunnahkan pula untuk memperbanyak ibadah secara umum, baik itu shalat, dzikir, berdo’a, membaca al-Qur’an dan lain sebagainya. Serta disunnahkan untuk mengajak keluarga kita untuk beribadah menghidupkan malam-malam istimewa. A’isyah radhiallahu ‘anha berkata, “Apabila memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berkumpul), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir bulan Ramadhan dan disunnahkan juga untuk menghidupkan malam-malamnya dengan amal ibadah.” (Syarah Shahih Muslim).

[5] Membayar zakat
Amalan shalih yang jangan sampai kita lupakan adalah membayar zakat fithri, sebagaimana dalam hadits yang shahih, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia dan ucapan kotor serta sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat id maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat id maka hanya menjadi sedekah biasa” (HR. Abu Dawud, Hasan). Zakat fithri juga sebagai sarana untuk saling berbagi kebahagiaan diantara kaum muslimin pada saat hari raya id, sehingga ukhuwah islamiyah bisa semakin terjaga. Sebagian besar ulama terdahulu sampai sekarang menasihakan agar pembayaran zakat fitri berupa barang, yaitu berupa makanan pokok.

Kekeliruan di 10 hari terakhir Ramadhan
Kaum muslimin yang diberkahi oleh Allah Ta’ala, masih banyak masyarakat di sekitar kita yang masih menyia-nyiakan 10 hari terakhir Ramadhan, seakan-akan waktu dan kesempatan yang Allah Ta’ala berikan ini hanyalah untuk dibiarkan begitu saja. Diantara kita masih banyak yang semakin malas dalam beribadah. Seharusnya semakin mendekati akhir semakin giat beribadah, namun malah semakin malas untuk beribadah. Akhirnya shalat tarawih pun ditinggalkan, dan shaf-shaf shalat pun semakin maju tanda semakin sedikit yang hadir, amalan lain pun banyak yang disepelekan.
Kemudian masih banyak pula diantara kita yang waktunya habis untuk mempersiapkan pernak-pernik dan aneka hidangan guna menyambut ‘idul fithri hingga lupa beribadah. Siang dan malam sibuk berbelanja kebutuhan menjelang hari raya, sibuk membeli baju baru dan membuat makanan yang akhirnya meninggalkan amalan-amalan yang bernilai pahala besar. Maka sebagai seorang muslim yang menginginkan kebaikan yang banyak, jangan sampai kita terlena dengan godaan-godaan yang melalaikan kita dari semangat beribadah kepada Allah Ta’ala, terlebih lagi pada penghujung bulan nan penuh berkah ini.

Penutup
10 hari terakhir bulan Ramadhan adalah hari-hari yang sangat mulia, penuh berkah dan rahmat, penuh dengan ampunan yang sangat luas dari Allah Rabbul ‘alamiin. Terlebih lagi ada satu malam dimana malam tersebut lebih baik dari 1000 bulan. Oleh sebab itu hendaknya kita manfaatkan sebaik mungkin dengan banyak beramal shalih dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan.
Demikianlah penjelasan tentang keistimewaan 10 hari terakhir bulan Ramadhan, semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan untuk melaksanakan amalan-amalan mulia yang dituntunkan oleh syari’at, sehingga kita tidak termasuk golongan orang-orang yang disebutkan dalam sebuah hadits, “Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah” (HR. Bukhari). Semoga kita menjadi golongan orang yang beruntung di dunia dan di akhirat. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin. Wallahu a’lam.

Penulis : Nizamul Adli Wibisono, ST
Murojaah : Ust Abu Salman, BIS

Pertanyaan:
Sebutkan 5 amalan yang dapat dilakukan di 10 hari bulan Ramadhan

Jawab :
Sholat malam, do’a, i’tikaf, membaca Al Qur’an, dzikir, doa, zakat, solat-sholat sunnah lainnya.

kisah para ulama mengkatamkan al qur'an dalam sehari

Buletin At-Tauhid edisi 26 Tahun XI
Al-Quran Karim Wallpapers
Disunnahkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan dan semangat untuk mengkhatamkannya. Walaupun hal ini tidaklah wajib. Artinya, jika tidak mengkhatamkan Al-Qur’an, maka tidak berdosa. Namun sayang, saat itu ia akan luput dari pahala yang besar.

Apa dalil di bulan Ramadhan kita mesti perhatian pada Al-Qur’an.
Lihatlah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk mengkhatamkan Al-Qur’an di hadapan Jibril ‘alaihis salam sebanyak sekali setiap tahunnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jibril itu (saling) belajar Al-Qur’an dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun sekali (khatam). Ketika di tahun beliau akan meninggal dunia dua kali khatam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pula beri’tikaf setiap tahunnya selama sepuluh hari. Namun di tahun saat beliau akan meninggal dunia, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari). Ibnul Atsir menyatakan dalam Al-Jami’ fii Gharibil Hadits bahwa Jibril saling mengajarkan pada Nabi seluruh Al-Qur’an yang telah diturunkan.

Dari situ, para ulama –semoga Allah meridhai mereka- begitu semangat mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan karena mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beberapa contoh para ulama yang bersemangat mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan

Contoh pertama dari seorang ulama yang bernama Al-Aswad bin Yazid –seorang ulama besar tabi’in yang meninggal dunia 74 atau 75 Hijriyah di Kufah- bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam. Dari Ibrahim An-Nakha’i, ia berkata, “Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam.” (Siyar A’lam An-Nubala). Subhanallah, yang ada, kita hanya jadi orang yang lalai dari Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Disebutkan dalam kitab yang sama di luar bulan Ramadhan, Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam enam malam. Waktu istirahat beliau untuk tidur hanya antara Maghrib dan Isya. (Siyar A’lam An-Nubala).

Ada seorang ulama di kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Da’amah yang meninggal tahun 60 atau 61 Hijriyah dan salah seorang murid dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau ini sampai dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai ulama pakar tafsir dan paham akan perselisihan ulama dalam masalah tafsir. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsaury mengatakan bahwa tidak ada di muka bumi ini yang semisal Qatadah. Salam bin Abu Muthi’ pernah mengatakan tentang semangat Qatadah dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, “Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan setiap malamnya.” (Siyar A’lam An-Nubala’).

Muhammad bin Idri Asy-Syafi’i yang kita kenal dengan Imam Syafi’i yang terkenal sebagai salah satu ulama madzhab sebagaimana disebutkan oleh muridnya Ar-Rabi’ bin Sulaiman, “Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.” Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat. (Siyar A’lam An-Nubala’). Bayangkan, Imam Syafi’i berarti mengkhatamkan Al-Qur’an sehari dua kali. Subhanallah.

Ibnu ‘Asakir adalah seorang ulama hadits dari negeri Syam, dengan nama kunyah Abul Qasim, beliau penulis kitab yang terkenal yaitu Tarikh Dimasyq. Anaknya yang bernama Al-Qasim mengatakan mengenai bapaknya, “Ibnu ‘Asakir adalah orang yang biasa merutinkan shalat jama’ah dan tilawah Al-Qur’an. Beliau biasa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap pekannya. Lebih luar biasanya di bulan Ramadhan, beliau khatamkan Al-Qur’an setiap hari. Beliau biasa beri’tikaf di Al-Manarah Asy-Syaqiyyah. Beliau adalah orang yang sangat gemar melakukan amalan sunnah dan rajin berdzikir.” (Siyar A’lam An-Nubala’)

Apakah Mengkhatamkan Al-Qur’an itu Wajib?

Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa seperti itu berbeda tergantung pada orang masing-masing. Orang yang sibuk pikirannya, maka berusaha sebisa mungkin sesuai kemampuan pemahamannya. Begitu pula orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau sibuk mengurus urusan agama lainnya atau urusan orang banyak, berusahalah pula untuk mengkhatamkannya sesuai kemampuan. Sedangkan selain mereka yang disebut tadi, hendaknya bisa memperbanyak membaca, jangan sampai jadi lalai. (Lihat At-Tibyan).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Apakah orang yang berpuasa wajib mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan?” Jawab beliau rahimahullah bahwa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa tidaklah wajib. Akan tetapi sudah sepatutnya setiap muslim di bulan Ramadhan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an. Hal ini merupakan sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap bulan Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa saling mengkaji Al-Qur’an bersama Jibril. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, Dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab no. 65754).

Padahal Ada Hadits yang Melarang Khatam Al-Qur’an Kurang dari Tiga Hari

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al-Qur’an. Beliau menjawab, “Dalam satu bulan.” ‘Abdullah menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Lantas hal itu dikurangi hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Khatamkanlah dalam waktu seminggu.” ‘Abdullah masih menjawab, “Aku masih lebih kuat dari itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Tidaklah bisa memahami jika ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, shahih). Al ‘Azhim Abadi menyatakan bahwa hadits di atas adalah dalil tegas yang menyatakan bahwa tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. (‘Aun Al-Ma’bud).

Para ulama menjelaskan bahwa yang ternafikan (ditiadakan) dalam hadits adalah ketidakpahaman, bukan pahalanya. Artinya, hadits tersebut tidaklah menunjukkan tidak boleh mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Yang dimaksudkan dalam hadits adalah jika mengkhatamkan kurang dari tiga hari sulit untuk memahami. Berarti kalau dilakukan oleh orang yang memahami Al-Qur’an seperti contoh para ulama yang penulis sebutkan di atas, maka tidaklah masalah.

Dalam Lathaif Al-Ma’arif disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali, “Larangan mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari itu ada jika dilakukan terus menerus. Sedangkan jika sesekali dilakukan apalagi di waktu utama seperti bulan Ramadhan lebih-lebih lagi pada malam yang dinanti yaitu Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Makkah bagi yang mendatanginya dan ia bukan penduduk Makkah, maka disunnahkan untuk memperbanyak tilawah untuk memanfaatkan pahala melimpah pada waktu dan zaman. Inilah pendapat dari Imam Ahmad dan Ishaq serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”Walhamdulillah. Wallahu waliyyut taufiq.

KENAPA MAKSIAT MASIH TERJADI, PADAHAL SETAN DIIKAT DI BULAN RAMADHAN?

Ketika puasa itu tiba, maka kebaikan akan mudah dilakukan. Kejahatan dan maksiat akan semakin berkurang karena saat itu pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, setan pun terbelenggu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079). Dalam lafazh lain disebutkan, “Jika masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu rahmat dibukan, pintu-pintu Jahannam ditutup dan setan-setan pun diikat dengan rantai.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa yang dimaksud adalah makna secara tekstual dan hakiki. Terbukanya pintu surga, tertutupnya pintu neraka dan terikatnya setan adalah tanda masuknya bulan Ramadhan, mulianya bulan tersebut dan setan pun terhalang mengganggu orang beriman. Ini isyarat pula bahwa pahala dan pemaafan dari Allah begitu banyak pada bulan Ramadhan. Tingkah setan dalam menggoda manusia pun berkurang karena mereka bagaikan para tahanan ketika itu. (Fath Al-Bari dan Syarh Shahih Muslim). Al Qodhi juga berkata, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.” (Lihat Syarh Shahih Muslim,)

Namun kenapa maksiat masih banyak terjadi di bulan Ramadhan walau setan itu diikat?

Disebutkan oleh Abul ‘Abbas Al-Qurthubi: Setan diikat dari orang yang menjalankan puasa yang memperhatikan syarat dan adab saat berpuasa. Adapun yang tidak menjalankan puasa dengan benar, maka setan tidaklah terbelenggu darinya. Seandainya pun kita katakan bahwa setan tidak mengganggu orang yang berpuasa, tetap saja maksiat bisa terjadi dengan sebab lain yaitu dorongan hawa nafsu yang selalu mengajak pada kejelekan, adat kebiasaan dan gangguan dari setan manusia. Bisa juga maksudnya bahwa setan yang diikat adalah umumnya setan dan yang memiliki pasukan sedangkan yang tidak memiliki pasukan tidaklah dibelenggu. Intinya maksudnya adalah kejelekan itu berkurang di bulan Ramadhan. Ini nyata terjadi dibandingkan dengan bulan lainnya. (Al-Mufhim lima Asykala min Takhlis Kitab Muslim. Dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 221162).
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan, jiwa lebih condong pada kebaikan dan amalan shalih, yang dengan kebaikan ini sebagai jalan terbukanya pintu surga. Begitu pula kejelekan pun berkurang ketika itu yang akibatnya pintu neraka itu tertutup. Sedangkan setan itu diikat berarti mereka tidaklah mampu melakukan maksiat sebagaimana ketika tidak berpuasa. Namun maksiat masih bisa terjadi karena syahwat. Ketika syahwat itu ditahan, maka setan-setan pun terbelenggu. (Majmu’ah Al-Fatawa).

Karena terbuka lebarnya pintu kebaikan ini, pahala kebaikan akan dilipat gandakan.
Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” (Lihat Lathaif Al-Ma’arif).
Ibrahim An-Nakho’i rahimahullah mengatakan, “Puasa sehari di bulan Ramadhan lebih afdhol dari puasa di seribu hari lainnya. Begitu pula satu bacaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) di bulan Ramadhan lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di hari lainnya. Begitu juga pahala satu raka’at shalat di bulan Ramadhan lebih baik dari seribu raka’at di bulan lainnya.” (Lihat Lathaif Al-Ma’arif)
Begitulah kemuliaan bulan Ramadhan. Orang yang sebelumnya malas ibadah, akan kembali sadar. Yang sudah semangat ibadah akan terus bertambah semangat. Yang lalai akan yang wajib, akan sadar di bulan Ramadhan. Yang lalai akan dzikir pun semangat untuk berdzikir. Begitu pula yang malas ke masjid akan rajin ke masjid. Namun tentu saja ibadah terbaik adalah ibadah yang kontinu, bukan hanya musiman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Muslim).

Penulis: Ust.Muhammad Abduh Tuasikal, ST, M.Sc.
(Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Artikel http://rumaysho.com (dengan perubahan dari redaksi)

maksimalkan puasamu,raih pahala berlipat

Buletin At-Tauhid edisi 25 Tahun XIramadhan
Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah yang datang setiap tahunnya dan disambut dengan gembira dan kebahagiaan oleh setiap muslim diseluruh dunia. Di bulan ini pula Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi kita dan salah satu rukun Islam disyariatkan, yaitu puasa. Allah menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang yang berpuasa, berupa ampunan dan pahala yang sangat besar yang disiapkan di sisi-Nya. Dan itu semua Allah langsung yang akan memberikan balasannya. Selain berpuasa, kita juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat Tarawih, memberi makan orang yang berbuka puasa, membaca Al-Qur’an, berdzikir, bersedekah, dan memperbanyak ibadah lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam merupakan teladan kita. Apabila bulan Ramadhan tiba, kebaikan beliau lebih cepat daripada angin yang berhembus dibandingkan bulan-bulan lainnya, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang paling gemar melakukan kebaikan. Kedermawanan yang beliau lakukan terutama di bulan Ramadhan yaitu ketika Jibril ‘alaihissalam menemui beliau. Jibril datang menemui beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan Al-Qur’an) hingga Al-Qur’an selesai dibacakan untuk Nabi. Apabila Jibril datang menemuinya, beliau adalah orang yang lebih cepat dalam kebaikan dibandingkan angin yang berhembus.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Artinya beliau shallallahu ‘alaihi wa salam bersegera pada kebaikan dan lebih banyak melakukan kebaikan. Maka, sebagai pengikut beliau shallallahu ‘alaihi wa salam yang setia, kita patut untuk menjadikan beliau sebagai contoh untuk memaksimalkan puasa kita dan mengisinya dengan ibadah yang bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala.
Ibadahku Hanya Untuk Allah Semata
Puasa yang kita lakukan merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karenanya, adab pertama yang wajib kita perhatikan adalah memurnikan niat puasa agar ikhlas karena Allah semata. Bukan sekedar ikut-ikutan kebanyakan orang, gengsi, atau pamer. Bahkan cuma sekedar mencari hal-hal yang bersifat sementara seperti menurunkan berat badan, melatih diet, menyehatkan tubuh, dan berbagai efek lain yang nilainya rendah dibandingkan akhirat. Jika puasa diniatkan untuk mencari kenikmatan duniawi, maka pahala besar yang ada di sisi Allah akan lenyap. Tidak peduli apakah ia mendapatkan kenikmatan duniawi yang ia cari atau tidak. Allah berfirman (artinya) “Barang siapa yang menginginkan keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menginginkan keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian apapun di akhirat.” (QS. Asy-Syuraa : 20).
Oleh karena itu, kita wajib mengikhlaskan niat puasa dan semua ibadah hanya untuk Allah semata. Adapun dampak lain yang didapatkan dari puasa di dunia ini, hanya sebagai hikmah tambahan saja, bukan tujuan utama dalam ibadah kita. Jika kita meniatkan puasa kita hanya karena Allah semata, maka akan Allah sempurnakan pahala dan ganjaran-Nya kelak di hari pembalasan nanti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya seseorang itu hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Waspada Dengan Puasa Yang Sia-Sia
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus saja, tapi juga menahan lisan dari ucapan yang dusta, perkataan kotor dan sia-sia, serta maksiat secara umum. Karena apabila seseorang berpuasa namun lisan dan anggota badannya tidak ia tahan dari perbuatan keji atau maksiat, maka Allah tidak butuh dengan puasanya. Akhirnya puasa yang ia lakukan menjadi sia-sia. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan haram dan perbuatan haram, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)
Laksanakan Sunahnya dan Perbanyak Ibadah
Dalam ibadah puasa ada beberapa amalan yang dianjurkan bagi seorang muslim untuk melakukannya. Di antara amalan yang terkait dengan kesempurnaan ibadah puasa dan penambah pahala puasa yaitu sebagai berikut.
  1. Makan Sahur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menganjurkan makan sahur meskipun hanya seteguk air, karena di dalamnya terdapat keberkahan. Sabda beliau “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Selain itu, dengan makan sahur akan membedakan puasa kita dengan puasanya Yahudi dan Nashrani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berdabda “Perbedaan antara puasa kita dan puasanya para ahli kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim). Dan waktu sahur itu dimulai dari setengah malam terakhir sampai terbitnya fajar. (Lihat Al-Fiqh Al-Muyasaar).
  1. Mengakhirkan Waktu Sahur
Disunahkan untuk mengakhirkan sahur mendekati waktu fajar/subuh, sebagaimana hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu beliau berkata “Kami dahulu makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, “Berama lama jarak antara azan subuh dengan sahur kalian?” Zaid menjawab, “Sekitar membaca 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim, dengan lafaz riwayat Muslim).
  1. Menyegerakan Berbuka
Orang yang berpuasa disunahkan untuk menyegerakan berbuka bila matahari telah benar-benar terbenam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Agama ini akan senantiasa jaya selama manusia menyegerakan berbuka puasa, karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban, hasan). Sebaliknya apabila umat ini meniru ahli kitab, mengakhirkan buka puasa sebagaimana yang dilakukan Syiah Rafidhah, maka umat ini akan berada dalam kehancuran. (Lihat Shifat Shaum Nabi karya Al-Albani)
  1. Berbuka Dengan Kurma Atau Air
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam biasanya berbuka dengan ruthob (kurma basah) sebelum melaksanakan shalat. Jika tidak ada ruthob, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada, maka beliau berbuka dengan seteguk air.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, hasan)
  1. Berdoa Ketika Berbuka Puasa
Dianjurkan juga bagi orang yang berbuka puasa untuk memperbanyak doa saat berbuka puasa karena saat itu adalah waktu yang mustajab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Tiga orang yang tidak tertolak doanya, yaitu : orang yang berpuasa saat ia berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang terzalimi.” (HR. Ahmad, shahih). Dan saat berbuka puasa membaca doa sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam baca dalam hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yaitu : “Dzahabazhzhoma-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah (semoga rasa haus hilang, urat-urat telah basah dan pahala telah ditetapkan insya Allah).” (HR. Abu Daud, hasan). Oleh karena itu, sebaiknya saat berbuka kita jangan terlalu sibuk dengan urusan perut tentang makanan dan minuman apa yang ingin disantap, akan tetapi juga memperbanyak doa guna memanfaatkan waktu yang mustajab ini.
  1. Memberi Makan Bagi Orang Yang Berbuka
Dianjurkan pula untuk memberikan makan orang-orang yang berbuka puasa karena pahalanya sangat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barang siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit juga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih). Bayangkan bila orang puasa yang ia beri makan lebih dari 30 bahkan mencapai ratusan, maka betapa banyaknya pahala yang ia borong pada hari itu.
  1. Memperbanyak Sedekah, Dzikir, Membaca Al-Qur’an, dan Ibadah Lainnya
Hadist Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sebelumnya pada halaman depan bercerita tentang kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang begitu cepat pada bulan Ramadhan, bahkan lebih cepat daripada angin yang berhembus. Beliau lebih banyak melakukan berbagai macam ibadah guna mengisi waktu saat ia berpuasa dibandingkan bulan-bulan yang lain. Ibadah yang beliau lakukan seperti bersedekah, zikir, membaca Al-Qur’an, shalat, berbuat baik, dan i’tikaf. (Lihat Zaadul Ma’ad Karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah). Maka selayaknya kita mengisi hari-hari puasa kita di bulan Ramadhan dengan meneladani beliau dalam memperbanyak ibadah-ibadah sunnah.
  1. Shalat Tarawih
Pahala yang terkandung dalam shalat Tarawih sangat besar. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim). An-Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih. (Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim). Kemudian pahala lain yang Allah janjikan adalah dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka akan ditulis untuknya pahala shalat satu malam penuh.” (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, shahih).
  1. Umrah
Bagi orang yang memiliki kelebihan harta dan mampu untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan, dianjurkan untuk berumrah guna meraih pahala yang tak terbayang melimpahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Umrah di bulan Ramadhan senilai (pahalanya-pent) dengan berhaji.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Bukhari yang lain “senilai dengan haji bersamaku.”
Semoga kita dapat mengisi bulan Ramadhan ini dengan banyak melakukan amal shalih sebagai bekal menuju negeri akhirat.
Penulis : Agung Panji Widianto, S.Ked. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Pertanyaan :
Sebutkan 2 keutamaan shalat Tarawih ?
Jawaban :
1.  akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu
2.  akan ditulis untuknya pahala shalat satu malam penuh, jika shalat bersama imam sampai ia selesai

catatan penting dalam ibadah ramadhan

Buletin At-Tauhid edisi 24 Tahun XI
alhamdulillah-marhaban-ya-ramadhan
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du

Setiap ibadah akan bernilai sempurna ketika ibadah itu dilakukan sesuai tuntunan. Salah satu bentuk kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah beliau menjelaskan kepada umatnya berbagai macam aturan dan panduan dalam beribadah. Termasuk diantaranya, aturan ketika puasa. Beliau ajarkan secara rinci kepada umatnya bagaimana agar mereka bisa melakukan ibadah puasa secara sempurna. Berikut kita akan bahas beberapa aturan terkait ibadah puasa:
Pertama, pastikan puasa anda mengikuti pemerintah
Setiap tahun, rakyat selalu mengharapkan agar awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia berjalan seragam. Namun sayang, harapan mereka seringkali dikecewakan dengan adanya perbedaan yang terus bertambah. Hingga sebagian merasa putus asa untuk bisa merayakan idul fitri bersama. Setidaknya ada 3 bulan penting yang menjadi acuan kaum muslimin dalam beribadah, bulan Ramadhan, terkait ibadah puasa, bulan Syawal, terkait waktu Idul Fitri, dan bulan Dzulhijah, terkait puasa Arafah, Idul Adha, dan berkurban.

Terlepas dari metode yang digunakan masing-masing ormas, hal terpenting yang perlu kita pertanyakan, siapakah yang berwenang dan memiliki otoritas untuk menetapkan awal bulan yang terkait dengan waktu ibadah di atas? Barangkali ada yang menjawab, semua ini dikembalikan kepada ijtihad masing-masing ormas. Masing-masing berhak untuk menetapkan awal bulan sesuai ijtihadnya. Jika demikian jawabannya, tidak bisa kita bayangkan, andaikan Mekah-Madinah ada di Indonesia. Masyarakat muslim yang behaji di Indonesia akan melakukan wuquf di Arafah pada hari yang berbeda-beda. Hari ini wukuf ormas A, besok wukuf ormas B, besoknya lagi wukuf ormas C, dst.

Kita layak bersyukur, Allah tidak meletakkan lokasi perjalanan ibadah haji di Indonesia. Susah untuk dibayangkan, bagaimana carut-marutnya umat jika wukufnya berbeda-beda. Oleh karena itu, satu hal penting yang patut kita pahami bahwa di sana ada ibadah yang hanya bisa dilakukan secara berjamaah. Dan itulah ibadah yang pelaksanaannya dikaitkan dengan bulan tertentu. Ketika penentuan ibadah ini dikembalikan kepada ormas, selamanya akan menjadi pemicu perselisihan dalam menentukan awal bulan. Lebih-lebih, ketika masing-masing memiliki metode yang berbeda. Untuk itulah, Allah jadikan hilal sebagai acuan waktu ibadah bagi seluruh manusia.  Allah berfirman, yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Jawablah, hilal adalah mawaqit (acuan waktu) bagi manusia dan acuan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah: 189).

Secara bahasa, hilal disebut hilal, sebab dia ustuhilla bainan-nas (terkenal di tengah masyarakat). Syaikhul Islam menjelaskan, “Hilal adalah nama (acuan waktu) ketika dia terkenal. Karena Allah jadikan hilal sebagai acuan waktu bagi seluruh umat manusia dan untuk acuan haji. Dan semacam ini hanya bisa terjadi ketika dia dikenal masyarakat dan sangat masyhur.” (Majmu’ Fatawa).

Kedua, jangan lupa sahur
Ada banyak keutamaan makan sahur yang ditunjukkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita termotivasi untuk melakukannya. Bukan hanya soal menjaga sumber energi, tapi sahur itu sendiri bernilai ibadah. Diantara keutamaan tersebut adalah:
  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan adanya keberkahan dalam hidangan sahur. Sehingga sahur bisa menjadi salah satu cara untuk ngalap berkah. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sahur-lah kalian, karena dalam makan sahur itu ada keberkahan.” (Muttafaq ’alaih)
  2. Agar puasa kita beda dengan puasa ahli kitab
Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah makan sahur.” (HR. Muslim). Berarti dengan sahur, anda menyatakan diri anda beda dengan ahli kitab.
  1. Agar kita mendapat shalawat dari Malaikat
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan sahur adalah makan penuh berkah. Janganlah kalian meninggalkannya walau dengan seteguk air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad, shahih).
Anda bisa perhatikan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi kita agar tidak meninggalkan sahur.

Ketika, jangan sia-siakan waktu yang mustajab
Ketika anda sahur di penghujung malam, sadari bahwa anda sedang berada di waktu yang mustajab untuk berdoa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita Ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman (artinya), “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (Muttafaq ’alaih). Orang-orang saleh menjadikannya salah satu kesempatan untuk memperbanyak istighfar. Allah sebutkan salah satu sifat orang yang bertaqwa dalam al-Quran, yang artinya,  “Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.”  (QS. Ali Imran: 17). Di ayat lain, Allah sebutkan, yang artinya, “Mereka selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. ” (QS. Adz Dzariyat: 18). Karena itu, perbanyak berdoa dan istighfar ketika anda sedang sahur.

Keempat, jadilah manusia berwibawa ketika puasa
Sudah seharusnya kita menjadi manusia yang berbeda pada saat kita berpuasa dan ketika sedang tidak puasa. Seorang mukmin yang berpuasa, dia akan menjadi orang yang sangat berwibawa. Karena upaya mereka untuk menjaga diri dari setiap maksiat dan perbuatan yang menurunkan martabat. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata rafats (jorok), berteriak-teriak dan bersikap bodoh (maksiat). Jika ada yang memaki atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa” 2x” (HR. Ahmad dan Bukhari). Dalam sebuah riwayat, sahabat Jabir mengingatkan, ”Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, penglihatanmu dari segala yang haram, dan jagalah lisanmu dari kedustaan. Hindari mengganggu tetangga. Jadikan diri anda orang yang berwibawa dan tenang selama puasa. Jangan jadikan suasana hari puasamu sama dengan hari ketika tidak puasa. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Kelima, sibukkan dengan baca al-Qur’an
Bulan Ramadhan adalah bulan al-Quran. Karena itu hendaknya seorang muslim memberikan porsi perhatian yang lebih terhadap al-Quran di bulan ini. Allah berfirman, yang artinya, “Bulan Ramadhan yang di dalamnya –mulai- diturunkannya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia.” (QS Al-Baqarah: 185). Berusaha memperbanyak hafalan al-Quran, sebagaimana dicontohkan langsung oleh Jibril bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah, “Jibril mendatangi untuk mengajarkan al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun sekali (pada bulan ramadhan). Pada tahun wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau sebanyak dua kali.” (HR. Bukhari).

Keenam, segerakan berbuka
Menyegerahkan berbuka ternyata bukan masalah sederhana. Ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa islam memberikan penekanan bagi umatnya untuk bersegera dalam berbuka. Diantaranya,
  1. Allah menetapkan batasan dalam setiap ibadah yang Dia wajibkan. Dalam ibadah puasa, Allah menetapkan batas waktunya antara terbit fajar hingga tenggelam matahari. Allah berfirman, yang artinya, Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu terbit fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187). Menyegerahkan berbuka puasa, hakekatnya memenuhi batasan yang Allah berikan dalam beribadah. Dan Allah mencintai ketika orang memenuhi batasan yang Dia tetapkan. Allah berfirman, yang artinya, “Itu adalah ketentuan‏ ‏dan batasan‏ ‏Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ‎niscaya Allah memasukkannya kedalam surga.  (QS. an-Nisa: 13‎)
  2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan umatnya akan selalu mendapatkan kebaikan selama menyegrahkan berbuka. Dari Sahl bin Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Umat Islam senatiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih). Kaum muslimin mendapatkan kebaikan ketika menyegerahkan berbuka karena mereka mengikuti sunah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu terbitnya bintang ketika berbuka. (HR. Ibnu Hibban, shahih).
  3. Menyegerahkan berbuka merupakan pembeda antara cara puasa kaum muslimin dengan cara puasanya yahudi dan nasrani. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Agama ini akan senantiasa menang, selama umatnya menyegerahkan berbuka. Karena yahudi dan nasrani mengakhirkan berbuka. (HR. Abu Daud, shahih). Semua realita ini terbukti. Hingga al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, Dulu umat islam selalu menyegerahkan berbuka, hingga mereka sekarang menunda berbuka. Adzan tidak dikumandangkan sampai matahari betul-betul  jauh terbenam. Mereka menyangka agar semakin yakin. Mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur, meninggalkan sunah. Karena itu, kebaikan mereka sedikit, dan banyak keburukan di tengah mereka. Allahul musta’an. (Fathul Bari).

Kita bisa saksikan, orang syiah dengan segala penyimpangan dan kesesatannya, ternyata mereka memiliki tradisi menunda berbuka. Kita bisa lihat korelasi aqidah sesat syiah dengan kebiasaan buruk mereka menunda waktu berbuka.

Ketujuh, beri hidangan berbuka bagi orang yang puasa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan pahala besar bagi orang yang memberi hidangan berbuka puasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan shahih). Al-Izz bin Abdis Salam menuliskan, Siapa yang memberi hidangan berbuka sebanyak 36 orang dalam setahun, berarti dia seperti mendapat pahala puasa setahun. (Maqashid as-Shaum, hlm. 18). Karena, ketika kita memberikan hidangan berbuka satu orang, mendapat pahala puasa sehari. Dan satu amal dilipatkan 10 kali. Sehingga 36 orang sama dengan 360 hari.

Demikian, semoga bermanfaat,
Allahu a’lam

Penulis : Ust. Ammi Nur Baits, ST (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)