Rabu, 14 Oktober 2015

bulan suro,bulan sial ?



Buletin At-Tauhid edisi 39 Tahun XIthemonthofmuharram
Terdapat mitos yang melekat di masyarakat Jawa seputar bulan Suro, yaitu sebutan Jawa untuk bulan yang mulia, Muharram. Masyarakat tradisional Jawa umumnya pantang mengadakan pesta apapun, baik pernikahan, selametan, dan pesta-pesta lainnya pada bulan ini. Sebaliknya, dilakukanlah berbagai ritual untuk menolak bala seperti jamasan, memandikan keris-keris dan senjata pusaka, dan sebagainya. Belum diketahui secara jelas darimana mitos ini berasal. Beberapa tokoh seperti KH Mustofa Bisri mengaitkan mitos dan ritual Jawa ini dengan peristiwa kematian Husein radhiyallahu’anhu hingga disebutlah bulan Suro sebagai bulan sial. Namun beliau juga tidak mengetahui sumber rujukan darimana pendapat ini berasal, dan menyebut ritual Jawa tersebut sebagai ritual yang mengandung unsur kesyirikan. Wallaahu a’lam, namun yang jelas bagi kita sebagai seorang muslim tidak boleh mempercayai adanya sebab-sebab berupa bulan, hari, dan waktu tertentu yang dapat mendatangkan kesialan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah sesungguhnya thaa’ir (kesialan) mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui” (QS. Al A’raaf : 131). Mempercayai mitos pembawa kesialan termasuk perbuatan menyekutukan Allah Ta’ala. Anggapan sial akan mengurangi kadar tawakkal dalam diri seseorang, dan memalingkan hatinya dari Allah sebagai satu-satunya Dzat tempat bergantungnya segala makhluk. Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “At thiyarah (anggapan sial) itu perbuatan syirik, at thiyarah itu perbuatan syirik” (HR Abu Daud, shahih).
Bulan Muharram Bulan Mulia
Bulan Muharram merupakan salah satu diantara bulan-bulan haram, yaitu : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu” (QS. At Taubah : 36). Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya waktu itu berputar semenjak hari dimana Allah ciptakan langit dan bumi, sungguh bilangan bulan di sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram, yang tiga berurutan : Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab Mudhar yaitu Antara Jumada dan Sya’ban” (HR Bukhari dan Muslim).
Apa makna dari bulan haram? Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “Bulan haram ada empat, yang tiga berurutan, dan yang satu bersendiri. Hal ini karena terdapat pelaksanaan manasik haji dan umrah, maka diharamkan berperang di sebulan sebelum manasik haji, yaitu Dzulqa’dah, disebut demikian karena mereka qa’dah (duduk, istirahat) dari perang. Diharamkan berperang di bulan Dzulhijjah karena manusia sibuk dengan ibadah haji, dan sebulan setelahnya yaitu Muharram untuk memberi waktu jamaah haji kembali ke negerinya masing-masing dengan aman. Diharamkan pula berperang di bulan Rajab karena itu pertengahan tahun dan masyarakat jahiliyah biasa bepergian di bulan tersebut”.
Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Bulan haram yang paling mulia ialah Muharram. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengawali tahun dengan bulan haram (yaitu Muharram), dan menutup tahun dengan bulan haram pula (yaitu Dzulhijjah). Dan tidak ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah daripada bulan Ramadhan, selain bulan Muharram”. Pendapat ini juga dikuatkan oleh sekelompok ulama kontemporer. Nabi shallallaahu‘alaihi wa sallam menyebut bulan Muharram dengan sebutan “syahrullah”, bulannya Allah. Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan ialah puasa di syahrullah, bulan Allah Muharram. Sedangkan shalat paling utama setelah shalat wajib ialah shalat malam (tahajjud)” (HR Muslim). Para ulama menjelaskan alasan penyebutan bulan Muharram dengan bulan Allah sebagai berikut :
  1. Dalil bagi keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah menyandarkan makhluk-makhluk-Nya langsung kepada-Nya, melainkan untuk menunjukkan keistimewaan makhluk tersebut. Misalnya, Nabi Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Yaqub dan nabi-nabi lain disebut dalam Al Qur’an dengan “Abdullah” hamba Allah, begitu pula “Baitullah” untuk menyebut Ka’bah.
  2. Masyarakat jahiliyah dahulu menghalalkan bulan Muharram untuk berperang, dan mengharamkan bulan Safar. Maka Allah menegaskan bulan Muharram dengan menamainya syahrullah, sebagai isyarat bahwa kemuliaan bulan Muharram tidak boleh diganti oleh siapapun (dari Lathaa’iful Ma’arif )
Bulan Muharram Bulannya Amal Shalih, Bukan Bulannya Kesyirikan
Ibn Katsir rahimahullah menjelaskan kembali dalam tafsirnya, “Larangan berbuat zhalim di bulan haram maksudnya segala bentuk dosa dan maksiat lebih dilarang di bulan-bulan ini. Sebagaimana kemaksiatan yang dikerjakan di negeri haram (Ka’bah dan sekitarnya) dosanya berlipat ganda, begitu pula di bulan haram kemaksiatan yang dikerjakan dosanya juga berlipat ganda. Pembayaran diyat (denda) bagi kasus pembunuhan dilipatgandakan menurut madzhab Syafi’i dan sekelompok ulama lain. Demikian pula hukuman bagi yang berperang di bulan haram akan dilipatgandakan. Ali ibn Thalhah menjelaskan bahwa dosa dilipatgandakan di bulan ini, demikian pula amal shalih pahalanya juga dilipatgandakan di bulan-bulan haram”.
Maka apabila kemaksiatan di bulan ini dosanya dilipatgandakan, terlebih lagi dengan kemaksiatan terbesar yang merupakan pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala, yaitu kesyirikan alias menyekutukan-Nya dengan suatu makhluk. Seperti halnya ritual yang mengkultuskan makhluk, hewan-hewan tertentu seperti kebo bule, dan sebagainya. Termasuk diantaranya menganggap bulan Muharram sebagai bulan pembawa sial. Perbuatan ini tergolong thiyarah yang merupakan salah satu bentuk kesyirikan. Tentu akan sangat besar dosanya di sisi Allah. Wal ‘iyadzu billah.
Hati-Hati dengan Anggapan Sial
Tidak boleh beranggapan bahwa hari tertentu, bulan tertentu, tahun tertentu, adalah faktor penyebab kesialan bagi manusia. Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Apabila seseorang meyakini bahwa mitos kesialan tertentu dapat memberi manfaat atau mendatangkan marabahaya bila terjadi, ia meyakini akan dampaknya, maka ia telah berbuat kesyirikan karena menganggap suatu mitos sebagai penyebab terjadinya suatu hal” (Syarh Shahih Muslim no. 2224). Apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan sebagai satu-satunya penentu bagi terjadinya marabahaya, maka ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan dari Islam karena pelakunya telah meyakini adanya pengatur alam semesta selain Allah Ta’ala. Sedangkan apabila ia meyakini bahwa suatu mitos kesialan adaah sebagai sebab yang berdampak negatif (dengan tetap meyakini hanya Allah yang berkuasa memberikan manfaat dan bahaya), padahal itu hanyalah mitos yang tidak ditetapkan syariat, dan tidak pula masuk akal, maka ini  adalah syirik kecil yang termasuk dosa besar dengan tingkat dosa yang lebih besar dari zina dan membunuh seorang muslim tanpa hak. Dan wajib bagi seorang muslim untuk bertaubat darinya (lihat Qaulul Mufid 1/575).
Bulan Muharram dan Puasa Asyura
Asyura ialah sebutan untuk tanggal 10 Muharram, sedangkan Tasu’a untuk tanggal 9 Muharram. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa di hari Asyura, beliau pun bertanya, “Puasa apakah ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, yaitu hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka (yaitu Firaun) maka Nabi Musa pun berpuasa di hari ini”. Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam pun bersabda, “Kalau begitu aku lebih berhak atas Musa daripada kalian” dan beliau pun berpuasa dan memerintahkan para shahabat berpuasa (HR Bukhari). Dalam riwayat lain bahwa ketika Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah menjawab, “Kalau begitu tahun depan insya Allah kita akan berpuasa juga di hari Tasu’a”. Maka belum sempat datang tahun depannya lagi, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam telah wafat (HR Muslim).
Oleh karena itu tingkatan dalam puasa Asyura minimal adalah berpuasa di tanggal 10 Muharram saja, atau lebih baik lagi bila menambah di tanggal 9 Muharram dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nasrani, atau lebih utama lagi menambah di hari-hari lain di bulan Muharram. Keutamaan puasa Asyura sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam, “Puasa di hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa setahun sebelumnya” (HR Muslim). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya ialah menghapus dosa-dosa kecil, yaitu semua dosa kecuali dosa-dosa besar. Apabila ia tidak memiliki dosa besar dan kecil maka akan ditulis baginya kebaikan dan diangkat derajatnya. Apabila dosa kecilnya tidak ada maka dosa besarnya yang akan diringankan” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzab). Sementara dosa-dosa besar dihapus dengan taubat nasuha.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq dalam mengisi bulan Muharram yang mulia ini. Aamiin.
Penulis : Yhouga Pratama, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

pendidikan anak tanggungjawab siapa?

Buletin At-Tauhid edisi 38 Tahun XIdownload-ceramah-agama-islam-pendidikan-anak-dalam-islam-ustadz-abu-qatadah
Kita yang sudah menjadi orang tua tentu senantiasa berharap, berdo’a dan berusaha semaksimal mungkin agar anak-anak kita kelak menjadi anak-anak yang shalih, anak-anak yang bermanfaat. Namun siapa yang bertanggung jawab menjadikan mereka anak shalih, apakah orang tua? Ataukah sekolah dan para gurunya?

Beruntungnya Orang Tua Yang Memiliki Anak Shalih

Sungguh beruntung dan berbahagialah orang tua yang telah mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak yang shalih, yang selalu membantu orang tuanya, mendo’akan orang tuanya, membahagiakan mereka dan menjaga nama baik kedua orang tua. Karena anak yang shalih akan senantiasa menjadi investasi pahala, sehingga orang tua akan mendapat aliran pahala dari anak shalih yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang telah meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).
Demikian pula, kelak di hari kiamat, seorang hamba akan terheran-heran, mengapa bisa dia meraih derajat yang tinggi padahal dirinya merasa amalan yang dia lakukan dahulu di dunia tidaklah seberapa, namun hal itu pun akhirnya diketahui bahwa derajat tinggi yang diperolehnya tidak lain dikarenakan do’a ampunan yang dipanjatkan oleh sang anak untuk dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya Allah Ta’ala akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga. Kemudian dia akan berkata, “Wahai Rabb-ku, bagaimana hal ini bisa terjadi padaku? Maka Allah menjawab, “Hal itu dikarenakan do’a yang dipanjatkan anakmu agar kesalahanmu diampuni.” (HR. Ahmad, hasan). Oleh karena itu, disebabkan pentingnya pembinaan dan pendidikan sang anak sehingga bisa menjadi anak yang shalih, Allah Ta’ala langsung membebankan tanggung jawab ini kepada kedua orang tua. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah ayat yang telah kita ketahui bersama (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”(At Tahrim: 6). Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim).
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memikulkan tanggung jawab pendidikan anak ini secara utuh kepada kedua orang tua. Dari Ibnu radhiallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”(HR. Bukhari).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.” (Tuhfah al Maudud).

Tanggung Jawab Orang Tua

Tanggung jawab pendidikan anak ini harus ditangani langsung oleh kedua orang tua. Para pendidik yang mendidik anak di sekolah–sekolah, hanyalah partner bagi orang tua dalam proses pendidikan anak. Orang tua yang berusaha keras mendidik anaknya dalam lingkungan ketaatan kepada Allah, maka pendidikan yang diberikannya tersebut merupakan pemberian yang berharga bagi sang anak, meski terkadang hal itu jarang disadari. Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “Perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud).

Orang Tua Shalih, Anak pun Shalih!

Hazm mengatakan, “Saya mendengar al-Hasan al-Bashri ditanya oleh Katsir bin Ziyad mengenai firman Allah Ta’ala, (artinya) “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Furqan: 74). Katsir bin Ziyad bertanya kepada al-Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apakah yang dimaksud qurrata a’yun (penyenang hati) dalam ayat ini terjadi di dunia ataukah di akhirat? Maka al-Hasan pun menjawab, “Tidak, bahkan hal itu terjadi di dunia.” Katsir pun bertanya kembali, “Bagaimana bisa?” al-Hasan menjawab, “Demi Allah, Allah akan memperlihatkan kepada seorang hamba, istri, saudara dan kolega yang taat kepada Allah dan demi Allah tidak ada yang menyenangkan hati seorang muslim selain dirinya melihat anak, orang tua, kolega dan saudara yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Tuhfah al Maudud).
Betapa indahnya, jika kita memandang anak-anak kita menjadi anak yang shalih, karena hal itu salah satu penyejuk pandangan kita. Namun yang patut kita perhatikan adalah faktor yang juga mengambil peran penting dalam pembentukan keshalihan anak adalah keshalihan orang tua itu sendiri. Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini, “Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?” Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Keturunan itu sebagiannya merupakan (turunan) dari yang lain.” (Ali Imran: 34). Maksud dari ayat di atas adalah orang tua yang baik, sumber yang baik, insya Allah akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Keshalihan orang tua juga akan memberikan manfaat positif, karena Allah akan menjaga sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi (artinya), “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (QS. Al Kahfi: 82).
Dalam ayat ini diberitakan bahwa dikarenakan keshalihan orang tua, Allah menjaga dan memelihara sang anak, serta tidak mengecewakan orang tua. Oleh karenanya, keshalihan orang tua itu akan berpengaruh pada sang anak, bahkan manfaat itu tidak terbatas pada sang anak semata, tapi juga berdampak kepada cucu-cucunya sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa yang dimaksud ” sedang ayahnya adalah seorang yang saleh ” dalam ayat tersebut adalah kakek ketujuh dari dua anak tadi. Kelak di surga, Allah Ta’ala pun akan mengumpulkan sang anak bersama orang tua mereka yang shalih, meskipun amalan sang anak tidak dibanding amalan orang tua. Allah Ta’ala berfirman (artinya) “Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath Thuur: 21). Maka disini, Allah Ta’ala memasukkan anak-anak orang mukmin ke dalam surga dengan syarat mereka juga beriman. Maka, betapa menyenangkannya, jika kita berkumpul bersama keluarga kita di surga sebagaimana kita berkumpul di dunia ini. Meskipun amal ibadah sang anak tidak sepadan dengan kedua orang tuanya, amalnya kurang daripada orang tuanya, namun Allah tetap memasukkan keturunannya ke dalam surga. Karena apa? Karena keshalihan kedua orang tuanya. Maka, mari kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang baik, taat kepada Allah dan shalih, kita jalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan ikhlas sehingga mudah-mudahan Allah Ta’ala akan menjaga dan memelihara anak-anak kita.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Artikel Muslim.or.id dengan sedikit perubahan oleh redaksi

Senin, 21 September 2015

panduan hari raya kurban

Buletin At-Tauhid edisi 37 Tahun XI
864154_eid-ul-adha-bakra-eid-greeting-cards-2012-wallpapers-pictures-facebook-azha_jpeg5961512cd1d09c2385b0045976653109
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Sebelumnya kita akan simak hadits berikut, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya adalah bulan hari raya: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena itu, sudah selayaknya kita bangun motivasi yang besar untuk beramal di bulan Dzulhijjah, sebagaimana motivasi kaum muslimin untuk beramal di bulan Ramadhan. Terutama di tanggal 10 Dzulhijjah, yang merupakan kesempatan istimewa bagi kaum muslimin karena ketika itu mereka sedang melaksanakan perintah Allah di surat al-Kautsar (artinya), “Kerjakanlah shalat untuk Rabmu dan sembelihlah qurban.”

Agar suasana hari raya Idul Adha kita semakin berkah, mari kita pelajari setiap sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ber-Idul Adha.
Pertama, Dilarang berpuasa di hari raya
Dari Abu Sa’id al-Khudzri radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua hari: hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad dan Muslim). Imam an-Nawawi mengatakan: “Para ulama telah sepakat tentang haramnya puasa di dua hari raya sama sekali. Baik puasanya itu puasa nadzar, puasa sunah, puasa kaffarah, atau puasa yang lainnya. (Syarah Shahih Muslim karya an-Nawawi).

Kedua, jangan sampai tidak hadir shalat Id
Shalat Id hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim. Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanaknnya. Karena sejak shalat Id ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, beliau senantiasa melaksanakannya sampai beliau meninggal.
2. Kebiasaan para khulafa ar-Rosyidin setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalat Id merupakan ibadah yang sangat disyariatkan dalam Islam.
3. Hadits Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan, “Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha….(HR. Bukhari dan Muslim). Adanya perintah menunjukkan bahwa itu wajib, karena hukum asal perintah adalah wajib
4. Shalat Id merupakan salah satu syiar Islam yang paling besar.

Ketiga, perhatikan Adab dalam menghadiri shalat Idul Adha
1. Mandi pada Hari Id
Dari Nafi’, beliau mengatakan “Bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i, shahih). Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin al-Musayyib mengatakan:
 “Sunah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi.” (Ahkamul Idain, no.17, karya al-faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani).
Catatan:
Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i dan pendapat yang dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.

2. Berhias dan Memakai Wewangian
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jum’atan, hendaknya dia mandi. Jika dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR. Ibn Majah, hasan).

3. Memakai Pakaian yang Paling Bagus
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jum’at.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam kitab shahihnya). Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan: Umar bin Khathab pernah mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar. Kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ya Rasulullah, saya membeli ini, sehingga engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari sutra. (HR. Bukhari, Muslim, dan yang lainnya). Imam as-Sindi mengatakan: “…dari hadits ini disimpulkan bahwa berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat). Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap belaku… (Hasyiah as-Sindy ‘ala an-Nasa’i).

4. Tidak Makan Sampai Selesai dari Shalat Idul Adha
Dari Buraidah, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, shahih).

Khusus bagi yang berkurban, disunnahkan tidak makan sampai selesai menyembelih hewan qurbannya. Sebagaimana hadits dari sahabat Buraidah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju shalat Idul Fitri sampai beliau makan dahulu, dan ketika Idul Adha, beliau tidak makan sampai menyembelih. (HR. Ibn Hibban, hasan).

5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan
Dari Sa’d radliallahu ‘anhu, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn majah, shahih).

Waktu Shalat Id
Dari Yazid bin Khumair, beliau mengatakan: suatu ketika Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama masyarakat menuju lapangan shalat Id. Kemudian beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan: “Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat Id) pada waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan Abu Daud dengan sanad shahih). Yang dimaksud: “waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan”: setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit.

Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerahkan shalat Idul Adha. Sementara Ibnu Umar -orang yang sangat antusias mengikuti sunah- tidak keluar menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari rumah sampai tiba di lapangan. (Zadul Ma’ad).

Tempat Pelaksanaan Shalat Id
1. Ketika di Mekah
Tempat pelaksanaan shalat Id di Mekah yang paling afdhal adalah di Masjidil Haram. Karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat Id di Masjidil Haram ketika di makah. Imam an-Nawawi mengatakan: …ketika di Mekah, maka masjidil haram paling afdhal (untuk tempat shalat Id) tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab).

2. Di Luar Mekah
Tempat shalat Id yang sesuai sunah adalah lapangan. Kecuali jika ada halangan seperti hujan atau halangan lainnya. Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat Id. (HR. Bukhari). Ibnul Haj al-Makki mengatakan:
“…sunah yang berlaku sejak dulu terkait shalat Id adalah dilaksanakan di lapangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih utama dari pada seribu kali shalat di selain masjidku, kecuali Masjidil Haram.” meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjid.” (al-Madkhal).

Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar menjadi imam shalat Id di masjid bagi orang yang lemah -tidak mampu keluar menuju lapangan-, sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah.

Adab Ketika Menuju Lapangan
1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda
Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkat dan pulang). (HR. Bukhari).

2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih awal. Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat dimulai. Karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat.

3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan
Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya, sehingga tidak didengar laki-laki. Dalil lainnya:
a. Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi, shahih).

b. Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah radliallahu ‘anhu berangkat shalat Id dan beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. (HR. al-Faryabi dalam Ahkamul Idain).

4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa
Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan: kami bersama Ibnu Umar, tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya. Maka aku pun turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya: Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar menunjuk orang itu: Kamu yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari yang tidak boleh membawa senjata…(HR. Bukhari). Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka dilarang untuk membawa senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh. (HR. Bukhari secara mu’allaq).

Demikian secara ringkas panduan berhari raya qurban, semoga Allah mudahkan bagi kita untuk mengamalkannya.

Penulis : Ustadz Ammi Nur Baits, ST. BA. (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Pertanyaan :
Sebutkan adab dalam menghadiri shalat Idul Adha?

Jawab
Mandi pada Hari Id, Berhias dan Memakai Wewangian, Memakai Pakaian yang Paling Bagus, Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha, Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan dan ketundukan.

menyambut bulan dzulhijah

Buletin At-Tauhid edisi 36 Tahun XI
Amalan di Dzulhijjah blog
Sebagian orang memiliki waktu tertentu yang mereka jadikan hari, tanggal, atau tahun istimewa. Tanggal kelahiran, hari pernikahan, pencapaian puncak karir dan kesuksesan, serta waktu lainnya yang memiliki kesan emosianal dan sejarah. Kemudian mereka rayakan dan muliakan hari-hari tersebut. Ketika manusia biasa mampu menautkan perasaan mereka dengan hari-hari yang mereka anggap istimewa, lalu bagaimana sikap mereka ketika Rabb yang menciptakan mereka menjadikan waktu-waktu tertentu sebagai saat yang istimewa? Ya, Allah Ta’ala memuliakan waktu tertentu dari waktu-waktu lainnya. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS:At-Taubah: 36). Allah Ta’alamemilih empat bulan istimewa dari dua belas bilangan bulan lainnya.
Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khutbah Arafahnya mengatakan, ‘Sesungguhnya zaman berputar sebagaimana kondisinya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan, diantaranya empat bulan haram. Tiga bulan ber-turut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan: Rajab suku Mudhar, yaitu bulan antara Jumadi (tsaniyah) dan Sya’ban’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Nash-nash syariat yang mulia ini menjelaskan agar kita memanfaatkan 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Beberapa alasan di antaranya:
Pertama: Pemilihan bulan ini sebagai bulan yang istimewa menunjukkan kesempurnaan ilmu dan hikmah yang dimiliki Allah Ta’ala. Yang demikian semakin membuat ibadah dan keimanan seorang muslim bertambah.
Kedua: mengagungkan apa yang Allah Ta’ala agungkan. Bulan Dzulhijjah ini adalah bulan yang memiliki kedudukan yang agung dalam syariat. Di antara bentuk pengagungan kaum muslimin kepada Allah Ta’ala adalah dengan mengagungkan apa yang Dia agungkan. Ini merupakan salah satu tanda kebaikan dan ketakwaan yang ada pada diri seorang hamba. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya), “Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS:Al-Hajj: 30). Firman-Nya juga (artinya), “Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS:Al-Hajj: 32).
Ketiga: Di antara bentuk pengagungan seorang muslim terhadap bulan ini adalah berhenti dari melakukan maksiat. Karena berbuat maksiat sejatinya adalah menzhalimi diri sendiri. Dan pengharamannya lebih ditekankan lagi pada bulan ini. Allahberfirman (artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS:At-Taubah: 36).
Qatadah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kezhaliman di bulan haram lebih besar dosa dan keburukannya dibanding bulan-bulan selainnya. Walaupun kezhaliman dalam setiap hal itu adalah sesuatu yang besar. Namun Allah Ta’ala mengagungkan apa yang Dia inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, tafsir At-Taubah Ayat: 36).
Keempat: Termasuk bentuk mengagungkan bulan ini adalah dengan memperbanyak amal shalih. Para ulama mengatakan, “Sesungguhnya syariat mengagungkan suatu waktu atau tempat sebagai bentuk motivasi kepada seorang hamba untuk menambah amal ketaatan. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram…” (HR. Muslim). Makna umum yang juga dipahami oleh para salaf, yakni bulan-bulan haram selain Muharam. Karena itu, mereka memperbanyak puasa di bulan-bulan tersebut. Rentang waktu yang paling mulia ketika bulan Dzulhijjah adalah pada 10 hari pertama. Di surat al-Fajr, Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 1-2).
Ibn Rajab menjelaskan, malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Inilah tafsir yang benar dan tafsir yang dipilih mayoritas ahli tafsir dari kalangan sahabat dan ulama setelahnya. Dan tafsir inilah yang sesuai dengan riwayat dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma…” (Lathaiful Ma’arif).
Allah Ta’ala bersumpah dengan menyebut sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Yang ini menunjukkan keutamaan sepuluh hari tersebut. Karena semua makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah, adalah makhluk istimewa, yang menjadi bukti kebesaran dan keagungan Allah Ta’ala. Karena itulah, amalan yang dilakukan selama 10 hari pertama bulan Dzulhijjah menjadi amal yang sangat dicintai Allah Ta’ala. Melebihi amal soleh yang dilakukan di luar waktu itu. Sebagaimana hadits dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen.).” (HR. Bukhari , Ahmad, dan Turmudzi).
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah dan tidak ada yang lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dia kerjakan pada sepuluh hari al-Adha.” (HR. Ad-Daruquthni, hasan). Al-Hafidz Ibn Rajab mengatakan, hadis ini menunjukkan bahwa beramal pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah lebih dicintai di sisi Allah dari pada beramal pada hari-hari yang lain, tanpa pengecualian. Sementara jika suatu amal itu lebih dicintai Allah, artinya amal itu lebih utama di sisi-Nya. (Lathaiful Ma’arif).
Setelah mengetahui keutamaan ini, tentu harapan terbesar adalah pengetahuan itu dapat mengokohkan tekad dan membuahkan amalan. Kemudian mengajak masyarakat memakmurkan hari-hari istimewa ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita kemudahan dalam melakukan ketaatan kepada-Nya, khususnya pada 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah.
Penulis : Nurfitri Hadi, MA (Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta)
Ziyadah
Keutamaan Puasa Arafah
Salah satu amalan utama di awal Dzulhijjah adalah puasa Arafah, pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa ini memiliki  keutamaan yang semestinya tidak ditinggalkan seorang muslim pun. Puasa ini dilaksanakan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji. Dari Abu Qotadah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam Al Majmu’ berkata, “Adapun hukum puasa Arafah menurut Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah: disunnahkan puasa Arafah bagi yang tidak berwukuf di Arafah. Adapun orang yang sedang berhaji dan saat itu berada di Arafah, menurut Imam Syafi’ secara ringkas dan ini juga menurut ulama Syafi’iyah bahwa disunnahkan bagi mereka untuk tidak berpuasa karena adanya hadits dari Ummul Fadhl. Ibnu Muflih dalam Al Furu’ -yang merupakan kitab Hanabilah-  mengatakan, “Disunnahkan melaksanakan puasa pada 10 hari pertama Dzulhijjah, lebih-lebih lagi puasa pada hari kesembilan, yaitu hari Arafah. Demikian disepakati oleh para ulama.”
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah. “Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Maimunah, ia berkata bahwa orang-orang saling berdebat apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, semoga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, semoga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim). Sedangkan jika melihat dari penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah, bukan hanya dosa kecil yang diampuni, dosa besar bisa terampuni karena hadits di atas sifatnya umum. (Lihat Majmu’ Al Fatawa).
Setelah kita mengetahui hal ini, tinggal yang penting prakteknya. Juga jika risalah sederhana ini bisa disampaikan pada keluarga dan saudara kita yang lain, itu lebih baik. Biar kita dapat pahala, juga dapat pahala karena telah mengajak orang lain berbuat baik. “Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah (harta amat berharga di masa silam, pen).” (Muttafaqun ‘alaih). “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim).
Semoga Allah beri hidayah pada kita untuk terus beramal sholih.
Penulis: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal, ST., MSc. (Pimpinan Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul Yogyakarta)
Artikel Muslim.Or.Id (dengan sedikit perubahan oleh redaksi)
Pertanyaan :
Sebutkan 4 bulan istimewa dari dua belas bilangan bulan lainnya?
Jawab :
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab

sumber hukum dalam islam

Buletin At-Tauhid edisi 34 Tahun XI
al-quran-yang-mulia1

Alhamdulillah, was sholatu was salamu ala rasulillah, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man tabi’a hudah…

Para pembaca yang terhormat, semoga Allah merahmati kita semua… Islam adalah agama yang dijadikan sempurna dan paripurna oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama (Islam) untuk kalian, telah aku lengkapkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama kalian”. [QS. Al-Ma’idah: 3]. Karena sempurna dan lengkapnya Ajaran Islam ini, sehingga dia pantas dijadikan sebagai satu-satunya agama yang diterima oleh Allah, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Siapapun yang menginginkan agama selain Islam, maka agama itu tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Alu Imron: 85].

Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk menjadikan Islam -yang merupakan hukum dan keputusan Allah- sebagai aturan hidup manusia di semua sisi kehidupannya, baik dalam hal ibadah maupun mu’amalah. Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, untuk memilih pilihan (lain) dalam urusan mereka, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan”. [QS. Al-Ahzab: 36]. Allah juga berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam dengan sempurna”. [QS. Al Baqoroh: 208]

Ibnu Jarir -rahimahullah- menafsiri ayat ini dengan mengatakan: “Wahai kaum mukminin, jalankanlah Syariat Islam semuanya, masuklah untuk membenarkannya baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan tinggalkanlah mengikuti jalan-jalan dan jejak-jejak setan, karena dia adalah musuh yang nyata permusuhannya terhadap kalian. Dan jalan setan yang dilarang Allah untuk diikuti adalah apapun yang menyelisihi hukum dan syariat Islam”. [Tafsir Thobari 3/602]. Dan untuk menerapkan Syariat Islam dalam semua sisi kehidupan, kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Islam itu sendiri, kemudian mengembalikan segala urusan kepadanya.

Alhamdulillah, para ulama -rahimahumullah- telah menerangkan apa saja sumber-sumber hukum itu dengan sangat jelas, diantaranya adalah Imam Syafi’i -rahimahullah-, beliau mengatakan: “Allah tidak membolehkan kepada siapapun untuk berpendapat kecuali dengan ilmu yang telah dia ketahui sebelumnya, dan sumber ilmu itu adalah: Kitab (Qur’an), Sunnah (Hadits), Ijma’, Atsar (perkataan para sahabat), dan meng-qiyaskan kepada dalil-dalil tersebut sebagaimana telah kuterangkan”. [Arrisalah: 508]. Inilah sumber-sumber dalam Islam sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafii -rahimahullah-: Qur’an, hadits, Ijma’, Atsar, dan Qiyas. Adapun dalil-dalil lain yang disebutkan oleh para ulama, maka semuanya kembali kepada lima dalil ini. Dan dari lima dalil ini, ada yang sering tidak disebutkan oleh para ulama, yaitu: dalil atsar atau perkataan para sahabat, karena sebenarnya dalil ini masuk dalam dalil ijma’, karena pendapat para sahabat yang bisa dijadikan dalil hanyalah pada hal-hal yang mereka sepakati, dan ini masuk dalam bab ijma’ mereka. Adapun bila mereka berbeda pendapat, maka yang dipilih dari pendapat mereka adalah yang lebih dekat kepada kitabullah, atau Sunnah Nabi, atau qiyas yang shahih. Oleh karena itulah dalam banyak tempat Imam Syafii -rahimahullah- (begitu pula ulama lainnya) tidak menyebutkan dalil ini, sebagaimana perkatan beliau berikut ini: “Tidak dibolehkan bagi siapapun yang telah diangkat sebagai hakim atau mufti; untuk menghakimi atau berfatwa kecuali dari sumber keterangan yang pasti, yaitu: Alkitab, kemudian Assunnah, atau perkataan para ulama yang tidak ada perselisihan padanya (Ijma’), atau qiyas kepada sebagian dari dalil-dalil ini”. [Kitab: Al-umm, Ibtholul Istihsan 9/67]. Dan empat dalil ini semuanya kembali kepada dua sumber utama, yaitu: Qur’an dan Hadits, sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i -rahimahullah-: “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama… yang menyelisihi… bahwa tidaklah ada perkataan yang mengikat, kecuali yang berdasar pada Kitabullah atau Sunnah Rosul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan bahwa yang selain keduanya itu mengikuti keduanya”. [Kitab: Al-Umm, Jima’ul Ilmi: 9/5].

Dari sini kita mengetahui salahnya tuduhan sebagian orang yang mengatakan: “Yang disebut kok selalu Qur’an dan Hadits, apa tidak ada dalil lainnya?!”, karena semua dalil dalam syariat itu kembali kepada keduanya, dan tidak mungkin ada dalil shahih dalam Syariat Islam yang menyelisihi keduanya. Bila ternyata ada orang yang berdalil dengan selain Al Qur’an dan Assunnah, kemudian hasil hukumnya bertentangan dengan keduanya, maka bisa dipastikan bahwa cara berdalil orang tersebut salah, karena dalil-dalil syariat itu tidak mungkin saling bertentangan, karena syariat ini berasal dari Allah begitu pula dalil-dalilnya, dan sesuatu yang datang dari Allah tidak mungkin saling bertentangan, oleh karena itulah Allah berfirman tentang Al Qur’an yang merupakan sumber utama dalam Islam (artinya): “Jika saja dia itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan pertentangan yang banyak di dalamnya”. [QS. Annisa: 82].

Ibnul Qoyyim -rahimahullah- mengatakan: “Hujjah-hujjah Allah itu tidak saling bertentangan, dan dalil-dalil syariat itu tidak saling kontadiktif. Kebenaran itu saling membenarkan satu dengan lainnya, dan dia tidak menerima adanya pertentangan ataupun kontradiksi”. [I’lamul Muwaqqi’in: 3/86]. Selanjutnya, dalil Al Qur’an dan Sunnah itu kembali kepada satu sumber utama hukum Islam, yaitu: Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala, oleh karena itulah Allah berfirman (artinya): “Apapun yang kalian perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada Allah”. [QS. Asy Syuro: 10]. Senada dengan ayat ini Imam Syafii -rahimahullah- juga mengatakan: “Maka tidaklah ada masalah baru yang menimpa seseorang, melainkan Kitab (Al Qur’an) telah menjelaskannya, baik secara terperinci, maupun secara global”. [Kitab: Al-Umm, Jima’ul Ilmi, 9/69].

Dari uraian di atas kita bisa memahami, bahwa Islam itu berasal dari Al Qur’an. Kemudian dari Al Qur’an kita mengetahui wajibnya mengambil Hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dan dari keduanya kita mengetahui wajibnya mengikuti ijma’, atsar, qiyas, dan dalil-dalil mu’tabar lainnya. Oleh karena itu, kita harusnya mengembalikan semua perkara kepada dalil-dalil tersebut, terutama dua sumber utamanya, yakni Al Qur’an dan Sunnah yang dipahami dengan pemahamannya para sahabat generasi terbaik umat ini. Hanya dengan cara inilah kita menjadi Ahlussunnah yang sejati, sebagaimana diterangkan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Dan umatku akan terpecah menjadi 73 millah (ajaran), semuanya di neraka kecuali satu millah… yaitu: ajaran yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. [HR. Tirmidzi, hasan]. Sungguh hadits ini, sangat penting untuk dijadikan barometer kita di zaman akhir ini, karena seringkali orang berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits, tapi mereka memahaminya dengan caranya sendiri, bukan dengan berdasarkan pemahaman para sahabat.

Sebagai contoh kecil, kita mendapati orang-orang yang melakukan ‘pengeboman sembarangan’, mereka berdalil dengan ayat dan hadits tentang jihad di jalan Allah, tapi mereka memahaminya dengan cara mereka, bukan dengan pemahaman para sahabat. Seandainya mereka menggunakan pemahaman para sahabat untuk memahami ayat dan hadits tentang jihad itu, tentunya mereka tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan tersebut. Contoh lain, kita dapati kaum syiah yang mewajibkan pembayaran ‘khumus’ (seperlima harta) kepada penganutnya, mereka menggunakan sebagian ayat Al Qur’an sebagai sandarannya, tapi mereka pahami dengan logika mereka sendiri, bukan dengan pemahaman para sahabat. Jika mereka menggunakan pemahaman para sahabat untuk memahami ayat itu tentunya mereka tidak akan menjalankan ‘syariat khumus’ tersebut. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

Di akhir tulisan ini, ada baiknya kita mengetahui, bahwa di sana ada beberapa hal yang dijadikan rujukan hukum, padahal sebenarnya hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum, diantara contohnya adalah: mimpi, peraktek masyarakat, perkataan atau perbuatan orang yang tidak maksum, bisikan tanpa rupa, tenangnya atau gundahnya hati, dan kenikmatan atau kesusahan yang dialami seseorang. Ini semua bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan sandaran hukum dalam Islam, karena dalam perkara-perkara ini terdapat kemungkinan salah yang besar dan ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut tidak boleh kita gunakan, kecuali dalam satu keadaan saja, yaitu ketika hal-hal tersebut selaras dengan Syariat Islam, atau tidak bertentangan dengannya.

Dari sini kita memahami bahwa hal-hal tersebut hanya bisa dijadikan sebagai penguat saja, bukan sebagai dasar pengambilan hukum. Sehingga apabila ada dalil-dalil yang sahih bertentangan dengannya, maka kita harus mendahulukan dalil tersebut, dan meninggalkan petunjuk dari beberapa hal tersebut. Imam Syafi’i saja mengatakan: “Jika aku telah meriwayatkan hadits dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu aku tidak memakainya, maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang”. [Kitab: Al-Uluww lil Aliyyil Ghoffar, 169]. Jika ulama yang sekaliber Imam Syafii saja mengatakan demikian, maka apapun yang jauh di bawah beliau, harusnya petunjuknya ditinggalkan apabila menyelisihi dalil-dalil yang sahih dalam Syariat Islam, wallohu a’lam.

Sekian, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan kaum muslimin pada umumnya. Dan semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang baik hingga hari kiamat, amin. Walhamdulillahi robbil alamin.

Penulis : Ustadz Musyaffa Ad Dariny, M.A.