Senin, 20 Januari 2014

KESALAHAN UMUM DALAM SHALAT


Bismillāh, Allāhumma yassir wa a’in
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Amal hamba yang pertama kali akan dihisab adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, dia sukses dan berhasil, dan jika shalatnya rusak, dia sangat rugi” (HR. Nasa-i, Turmudzi, dan dinilai shahih oleh Al Albani).
Semua orang yang memahami hadits ini sangat menyadari, betapa pentingnya nilai shalat dalam syariat. Dan untuk bisa mendapatkan nilai sempurna dalam shalat, hampir tidak mungkin dilakukan oleh hamba mengingat banyaknya kekurangan yang kita lakukan. Sekalipun ini hampir tidak mungkin, namun setidaknya kita berusaha nilai amal shalat kita mendekati sempurna. Diantara usaha yang bisa kita lakukan adalah menekan semaksimal mungkin angka kesalahan yang terjadi selama kita shalat.
Dua Kesalahan dalam Shalat
Dalam shalat kita mengenal ada gerakan atau bacaan yang statusnya sebagai rukun shalat, wajib shalat, dan sunah shalat. Karena itu, kesalahan yang dilakukan masyarakat ketika shalat, bisa kita kelompokkan menjadi dua :
Pertama, kesalahan yang bisa membatalkan shalat. Itulah semua kesalahan yang bisa mengurangi kadar rukun atau wajib shalat. Sehingga dia dianggap belum mengerjakan rukun atau wajib shalat tersebut.
Kedua, yang tidak sampai membatalkan shalat. Kesalahan ini tidak sampai mengurangi kadar rukun atau wajib shalat.

Kesalahan yang Sering Terjadi Dalam Shalat

Berikut beberapa kesalahan yang sering dilakukan kaum muslimin ketika shalat. Sebagian ada yang mengancam keabsahan shalatnya dan sebagian tidak sampai membatalkan shalat.
[1] Tidak thuma’ninah
Yang dimaksud thuma’ninah adalah posisi tubuh tenang ketika melakukan gerakan rukun tertentu. Ukuran tenangnya adalah mencukupi untuk membaca satu kali do’a dalam rukun tersebut. Misalnya, thuma’ninah ketika ruku’, artinya posisi tubuh tenang setelah ruku’ sempurna. Kemudian baru membaca do’a ruku’, minimal sekali.
Sering kita saksikan, beberapa kaum muslimin tidak thuma’ninah. Mereka ruku’ dan sujud terlalu cepat. Begitu sampai titik ruku’ atau sujud, langsung bangkit. Ada kemungkinan, do’a ruku’ sudah dibaca ketika bergerak ruku’, sebelum ruku’ sempurna. Shalat model semacam ini batal karena tidak thuma’ninah.
Suatu ketika ada seseorang yang masuk masjid kemudian shalat dua rakaat. Seusai shalat, orang ini menghampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Namun Nabi menyuruh orang ini untuk mengulangi shalatnya. Setelah diulangi, orang ini balik lagi, dan disuruh mengulangi lagi shalatnya. Ini berlangsung sampai 3 kali. Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya cara shalat yang benar. Ternyata masalah utama yang menyebabkan shalatnya dinilai batal adalah kareka dia tidakthuma’ninah. Dia bergerak ruku’ dan sujud terlalu cepat. (HR. Bukhari & Muslim).
Hadits ini mejadi dalil bahwa thuma’ninah dalam shalat termasuk rukun shalat. Untuk menanggulanginya, tahan ketika kita sudah sempurna ruku’, atau sujud, kemudian baru baca do’a ruku’ atau do’a sujud.
[2] Was-was ketika takbiratul ihram
Kesalahan kedua ini banyak dialami oleh mereka yang berkeyakinan harus berbarengan persis antara niat di hati dan ucapan takbiratul ihram. Jika ada sedikit yang mengganggu dalam proses niatnya, dia langsung membatalkan diri dan mengulangitakbiratul ihram.
Perbuatan ini sejatinya telah diperingatkan para ulama. Berikut para ulama yang memberikan peringatan akan hal ini,
1. Ibnul Jauzi mengatakan, “Ada juga orang yang bertakbir kemudian dia batalkan takbirnya, bertakbir lagi, dia batalkan lagi, ketika imam mendekati ruku’, barulah orang yang terjangkiti was-was ini berhasil bertakbir, lalu mengejar ruku’ imam. Sungguh aneh, mengapa dia baru berhasil niat ketika itu! Semua ini terjadi karena tipuan iblis yang menggodanya agar dia kehilangan keutamaan takbiratul ihram bersama imam.” (Talbis Iblis, hlm. 169).
2. Imam Asy Syafi’i mengingatkan, “Was-was ketika niat shalat dan bersuci adalah bentuk kebodohan dengan syariat dan kurang akalnya.” (Al Qaulul Mubin fi Akhtha Mushallin, hlm. 93).
Untuk mengobati penyakit ini, yakinkan bahwa anda sudah niat, tidak perlu diulangi, dan baca takbiratul ihram sekali. Inilah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila kamu ingin shalat, wudhulah dengan sempurna, lalu menghadaplah ke arah kiblat, dan bertakbirlah” (HR. Bukhari). Anda perhatikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak mengajarkan bacaan apapun sebelum shalat dan beliau hanya mengajarkan takbir sekali.
[3] Imam salah dalam membaca Al Fatihah
Ketika seseorang merasa tidak bisa baca Al Fatihah dengan baik, seharusnya dia tidak nekat untuk maju menjadi imam. Karena ini mengancam keabsahan shalat makmumnya. Imam Syafi’i mengatakan, “Orang yang salah bacaan Al Fatihah-nya yang menyebabkan perubahan makna (pada ayat-red), menurutku shalatnya tidak sah, tidak sah pula orang yang shalat di belakangnya. Jika salah di selain Al Fatihah, aku membencinya, meskipun tidak wajib mengulangi. Karena jika dia tinggalkan selain Al Fatihah dan hanya membaca Al Fatihah, saya berharap shalatnya diterima. Jika shalatnya sah maka shalat makmum juga sah insya Allah. Jika kesalahannya pada Al Fatihah atau lainnya, namun tidak mengubah makna, shalatnya sah, namun saya benci dia jadi imam, apapun keadaannya.” (Al Umm, 1/215)
[4] Sedekap miring
Sebagian orang bersedekap dengan meletakkan kedua tangan tepat di atas jantungnya, atau di atas organ hatinya. Tidak ada satupun yang memberikan dalilnya. Mereka merasa, shalat dengan cara itu, hatinya atau jantungnya akan lebih tenang.
Kita semua sepakat, shalat yang paling sempurna adalah shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bersedekap dengan cara demikian. Artinya, itu bukan metode agar shalat kita menjadi khusyu.
Masalah berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat seperti layaknya orang yang berkacak pinggang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat sambil ikhtishar ” (HR. Bukhari).
Ikhtishar adalah meletakkan satu tangan di atas pinggang atau kedua tangan di atas kedua pinggang. (Sunan Turmudzi keterangan hadits no. 384). Sementara kita memahami, orang yang bersedekap miring, menyebabkan salah satu sikunya keluar jauh dari tubuhnya, layaknya orang yang berkacak pinggang.
[5] Tidak ruku’ atau i’tidal dengan sempurna
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah melihat ada orang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujud ketika shalat. Setelah selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama Anda shalat semacam ini?” Orang ini menjawab, “40 tahun”. Hudzaifah mengatakan, “Engkau tidak dihitung shalat selama 40 tahun (karena shalatnya batal-pen)”. Lanjut Hudzaifah, “Jika kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas fitrah (ajaran) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari)
Hadits ini berbicara tentang orang yang tidak sempurna dalam melakukan gerakan rukun dalam shalat. Misalnya, orang yang ruku’, sebelum posisi ruku’ sempurna, dia sudah bangkit. Atau orang yang belum sempurna berdiri i’tidal (tubuh masih condong ke depan), dia sudah sujud.
[6] Tidak menempelkan hidung ketika sujud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar orang yang sujud benar-benar menempelkan hidungnya ke lantai. Beliau bersabda, “Allah tidak menerima shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah, sebagaimana dia menempelkan dahinya ke tanah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdurrazzaq, dan dinilai shahih oleh Al Albani). Hadits ini menunjukkan menempelkan hidung ketika sujud hukumnya wajib.
[7] Membuka tangan ketika salam
Salam ke kanan, membuka tangan kanan, salam ke kiri dengan membuka tangan kiri. Kebiasaan ini pernah dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ”Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu’alaikum wa rahmatullah - Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua tangan ke samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengingatkan, ”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di paha kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya (HR. Muslim).
Penulis : Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.I.S (Dewan Pembina situswww.konsultasisyariah.com)
Muroja’ah : Ustadz Aris Munandar, M.PI

BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH NABI


Salah Kaprah Memaknai Sunnah
Sebagian besar orang menganggap sunnah berarti adalah perkara yang tidak wajib sehingga boleh untuk ditinggalkan.Pengertian ini tidak salah secara mutlak.Namun, itu hanya sebagian dari makna sunnah. Agar tidak salah, penting bagi kita untuk mendefinisikan sunnah dengan benar.
Sunnah secara bahasa berarti jalan atau metode, baik itu jalan yang baik maupun jalan yang jelek. Hal ini bisa dilihat dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamBarangsiapa yang mencontohkan jalan (sunnah) yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan (sunnah) yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim). Dalam hadits ini, Nabi membagi ada sunnah yang baik dan sunnah yang jelek. Inilah makna sunnah secara bahasa.
Adapun secara istilah, makna sunnah memiliki beberapa pengertian :
1) Menurut istilah ulama ahli hadits, yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, pembenaran, maupun sifat-sifat yang ada pada diri beliau. Baik sebelum beliau diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya.
2). Menurut istilah ulama ahli ushul, yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan berasal dari Al Qur’an.
3). Menurut ulama ahli fikih, sunnah adalah perkara yang tidak wajib, artinya pelakunya berhak mendapat pahala dan jika meninggalkan tidak berdosa.
Adapun makna sunnah menurut salafus shalih lebih luas dari makna di atas. Yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang sesuai dengan Al Qur’an dan jalan hidup Nabi beserta para sahabatnya, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun muamalah. Lawan dari makna ini adalah bid’ah. Sehingga dikatakan “orang tersebut di atas sunnah”, yakni jika amalannya sesuai dengan Al Qur’an dan petunjuk (sunnah) Nabi. Dan dikatakan “orang tersebut di atas bid’ah”, yakni apabila amalannya menyelisihi Al Qur’an dan sunnah Nabi, atau menyelisihi salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “As Sunnah adalah segala sesuatu yang merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan”. (Lihat pembahasan ini dalam Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah)

Perintah Berpegang Teguh dengan Sunnah

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”(HR. Al Hakim, derajat : shahih).
Dalam hadits di atas, Nabi yang mulia memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah, yang merupakan jalan beragama yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya.
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. “ (QS. Al Hasyr:7)
Tegar di Atas Sunnah Jalan Keluar dari Fitnah
Perpecahan dalam umat ini adalah suatu keniscayaan. Inilah sunnatullah, ketetapan Allah yang pasti terjadi. Digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kondisi perpecahan umat ini dalam sabda beliau, “Ketahuilah, umat-umat sebelum kalian dari golongan ahlul kitab telah terpecah menjadi tujuh puh dua golongan, dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, satu golongan akan masuk surga yaitu al jama’ah” (HR. Ahmad, derajat : hasan).
Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Semua golongan tersebut akan masuk neraka kecuali satu gologan : yaitu orang yang berjalan di atas ajaran agamaku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi,derajat : hasan).
Dua hadits di atas adalah berita yang shahih dari Nabi akan adanya perpecahan yang terjadi dalam umat ini. Demikian pula realita yang kita dapati kaum muslimin berpecah-belah menjadi banyakgolongan. Lalu siapakah golongan yang selamat? Merekalah orang-orang yang senantiasa bepegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah serta memahaminya sesuai dengan pemahaman yang diajarkan Nabi kepada para sahabat beliau dan telah mereka amalkan. Inilah kelompok yang selamat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, kelak dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap ajaran yang baru dalam agama Islam adalah termasuk perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i, derajat : hasan shahih). Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan khulafaur rasyidin dan para sahabat, inilah solusi keluar dari fitnah perpecahan umat, tidak ada jalan lain.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat perintah ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan khulfaur rasyidin. Yang dimaksud sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh dengan keyakinan, perkataan, dan perbuatan Nabi dan khulfaur rasyidin. Inilah sunnah yang sempurna. Oleh karena itu para ulama salaf di masa silam tidak menamakan sunnah kecuali mencakup seluruh perkara tadi” (lihatJami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “ (QS. An Nisaa’ : 59)
Bahaya Menyelisihi Sunnah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisaa’ : 115)
Sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus mendengar dan taat, serta tidak boleh menolak segala sesuatau yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah meniadakan iman bagi orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’:65)
Menjadi Asing Ketika Komitmen dengan Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing seperti awal mulanya. Maka keberuntungan bagi orang-orang yang asing” (HR. Muslim). Demikianlah, keadan yang akan terjadi bagi orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah. Akan dianggap orang yang asing karena banyaknya orang-orang yang tidak mengetahui sunnah dan menyelisihi sunnah.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa memberikan taufik kepada kita semua di atas jalan kebenaran. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi utama : Minhaaj Al Firqatin Naajiyah dan Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah
Penulis Ustadz dr. Adika Mianoki (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)