Selasa, 31 Desember 2013

pesta tahun baru pesta jahiliyah

gaulislam edisi 323/tahun ke-7 (27 Safar 1435 H/ 30 Desember 2013)

Saat buletin kesayanganmu ini terbit, masih di tanggal 30 Desember 2013. Udah di penghujung tahun masehi. Nuansa perayaan tahun baru sudah mulai terasa. Tradisi tahunan ini selalu menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk remaja. Sebenarnya pergantian waktu itu sudah biasa kita alami, tetapi manusia kadang suka menggunakan ukuran waktu tertentu untuk membuatnya menjadi spesial. Baik spesial harinya, maupun spesial dalam merayakannya. Momen pergantian tahun sama saja dengan momen pergantian waktu setiap hari. Adanya hari Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu (ini semua serapan dari kata bahasa Arab) adalah nama-nama hari yang selalu kita lewatkan sepanjang waktu. Jadi sebenarnya tak ada yang begitu spesial dalam urusan ini (dirayakan). Namun dalam pandangan Islam, waktu itu sangat spesial dilihat dari pemanfaatannya dan nilai ibadah. Orang yang tak pandai memanfaatkan waktu, bakalan rugi di kemudian hari karena jatah umurnya kian berkurang. Iya dong. Rugi banget jika selama hidup kita hanya diisi dengan maksiat sampai akhir hayat. Padahal, untuk bekal di akhirat kita membutuhkan amal shalih.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Tema untuk mengkritisi tahun baru seperti ini sudah berulang kali dibahas. Insya Allah para pecinta dakwah nggak bakalan bosan ngingetin manusia yang nggak bosan berbuat maksiat. Selama hayat masih dikandung badan, dakwah akan terus digelorakan. Jika bukan karena ingin menggapai ridho Allah Ta’ala untuk menyelamatkan manusia lainnya dari keburukan dan kemungkaran, untuk apa capek-capek ngingetin manusia yang lupa diri dan bangga berbuat maksiat. Jadi, jika gaulislam kini mengangkat tema ini lagi—dan saya yakin banyak kaum muslimin yang paham juga mengangkat tema sejenis akhir-akhir ini—maka itu bagian dari kepedulian dan cinta kepada kamu semua. Jangankan bagi kamu yang masih polos dan suka ikut-ikutan dalam berbuat, bagi mereka yang udah mulai suka ngaji pun kadang kepeleset juga dalam urusan ini. Itu sebabnya, tetap harus hati-hati bin waspada.

Mengapa tak boleh rayakan tahun baru?

Sebagai muslim, kita wajib menjadikan akidah dan syariat Islam sebagai ukuran dan rujukan dalam setiap pendapat dan perbuatan kita sehari-hari. Muslim yang beriman tentunya memiliki perhatian khusus terhadap Islam. Mungkin di antara kamu ada yang bilang, “Kan cuma merayakan biasa aja sama seperti acara lainnya, apanya yang salah?” Ya, alasan itu bisa dijawab begini: “Kan cuma pergantian waktu seperti pada umumnya, kenapa harus dirayakan—bahkan dengan hal-hal yang bernuansa maksiat. Jelas itu kesalahannya.”
Sobat gaulislam, perayaan tahun baru masehi bukanlah warisan ajaran Islam. Selama ini, kaum muslimin generasi terdahulu hingga sekarang yang paham tentang Islam hanya mengetahui dan meyakini bahwa hari raya dalam Islam hanya dua, yakni ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha” (HR an-Nasa’i No. 1556)

Nah, karena perayaan tahun baru bukanlah ajaran Islam, maka kaum muslimin yang merayakannya dianggap tasyabbuh (menyerupai atau meniru-niru orang kafir) dalam budaya mereka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan (termasuk budaya dan pendapat-pendapat mereka tentang kehidupan). Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR Muslim, No. 2669)

Nah, di sisi lain, perayaan tahun baru juga bermasalah. Coba aja lihat deh, mereka yang merayakan tahun baru itu rela begadang, menyia-nyiakan waktu, dan bahkan rawan perbuatan maksiat lainnya seperti perzinaan. Orang yang merayakan tahun baru tak sekadar yang turun ke jalan lalu meniup terompet dan menyulut kembang api, tetapi ada juga yang demi merayakan tahun baru malah berzina dengan pacarnya di tempat-tempat tertentu. Seolah, tahun baru menjadi momen spesial bagi mereka. Tetapi sayangnya, yang dianggap spesial itu justru dalam berbuat maksiat.

Manfaatkan waktumu

Waktu memang ibarat pedang. Setiap detik ia memenggal kesempatan kita, dengan tak kenal kompromi. Kejam, kita rasa memang demikian. Tapi alangkah lebih kejamnya lagi apabila kita tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Itu namanya kita menzalimi diri kita sendiri. Sebab, ini persoalan bagaimana kita mengatur waktu yang terbatas yang diberikan oleh Allah Swt. Jangan sampai kita gunakan untuk hal-hal yang nggak ada manfaatnya.

Terbatas? Memang demikian faktanya, kawan. Andai saja usia kita di dunia ini 60 tahun. Maka itulah batas hidup kita di dunia ini. Ukuran panjang dan pendek, adalah hitungan logika kita, tapi tetap pada hakikatnya itu terbatas. Jadi, jangan sia-siakan waktumu.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sebagai manusia, kita emang terbatas dan nggak sempurna. Itu sebabnya, kita jangan sampe melupakan siapa kita dan misi keberadaan kita di dunia ini. Ini wajib kita pahami betul, sobat. Kalau nggak? Wah, bisa kacau-beliau tuh. Coba aja perhatiin orang yang nggak sadar siapa dirinya dan misi adanya dia dunia ini, hidupnya suka semau gue. Seakan hidup nggak kenal waktu. Bahkan bagi orang yang kehidupannya diberikan kebahagiaan berlebih oleh Allah, suka lupa dan merasa ia akan hidup selamanya di dunia ini. Apalagi bila kita menjalaninya dengan serba mudah dan indah. Nikmat memang. Namun, sebetulnya kita sedang digiring  ke arah tipu daya yang bakal menyesatkan kita bila kita tak segera menyadarinya. Rasulullah saw bersabda: “Ada dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhari)

Benar, bila badan kita sehat, segar, dan bugar, bawaannya seneng dan merasa bahwa kita nggak bakalan sakit. Kalo lagi sehat nih, diajak jalan kemana aja kita antusias (termasuk merayakan tahun baru). Makan apa aja kita paling duluan ngambil dan mungkin paling gembul. Waktu kita sehat, kita lupa bahwa kita juga bakal sakit. Nggak heran kalo kemudian kita melakukan apa saja sesuka kita, termasuk yang deket-deket dengan dosa. Kesehatan memang nikmat yang bisa menipu kita. Melupakan kita dari aktivitas yang seharusnya kita lakukan.
Begitu pula dengan kesempatan. Kalo lagi ada waktu luang, bawaan kita pengennya nyantai aja. Coba, kalo tiba musim liburan, serta merta kita bersorak kegirangan. Bukan karena kita bisa mengerjakan aktivitas yang nggak bisa dilakukan saat kita sekolah, tapi karena itu adalah semata-mata waktu luang. Kita menganggap bahwa itulah saatnya bersantai dan melepaskan beban penderitaan selama belajar di sekolah.

Ya, kesempatan juga bisa menipu kita. Padahal, waktu luang itu bisa kita gunakan utuk kegiatan yang bermanfaat dan berpahala. Namun nyatanya sedikit banget yang ngeh. Udah kepepet aja, baru nyesel. Ketika masih jauh dengan waktu ujian, kita nyantai banget. Eh, begitu hari “H”-nya, kita langsung kelabakan nyari bahan belajar untuk ujian. Soalnya selama itu nggak pernah nyatet pelajaran. Kalo begitu, buat sekolah ya? Dan yang pasti, banyak waktu terbuang percuma. Jadi, sayangi dirimu kawan.

Sobat gaulislam, Dr Yusuf Qardhawi dalam kitabnya, al-Waktu fii Hayaatil Muslimberwejang, bila orang melewati satu hari dalam hidupnya tanpa ada suatu hak yang ia tunaikan atau suatu fardhu yang ia lakukan, atau kemuliaan yang ia wariskan, atau pujian yang ia hasilkan, atau kebaikan yang ia tanamkan, atau ilmu yang ia dapatkan, maka sungguh-sungguh ia telah menganiaya dirinya sendiri.

Belum lagi bahaya yang bakal kita terima saat kita menyia-nyiakan waktu. Paling nggak ada tiga akibat; kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan jiwa.
Orang yang nggak merasa bahwa waktu itu begitu berharga dan bernilai, maka biasanya orang tersebut malas untuk belajar. Kalo udah malas belajar, alamat akal kita kekurangan pasokan ilmu. Ujungnya kita bisa jadi nggak mampu memfungsikan akal kita untuk mengetahui Rabb kita, untuk mengetahui siapa kita, keberadaan kita dan mau ngapain kita di dunia. Kalo begitu, kita nggak ada bedanya sama “teman-teman” di Ragunan. Ih, amit-amit ya? Jangan sampe deh. Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun.” (QS al-Anfâl [8]: 22)
Begitu pentingnya akal ini, hingga Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anhu pernah mengatakan, “Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah agamanya, dan harga dirinya adalah akhlaknya.” Tuh, catet ya!
Ali bin Abi Thalib ra juga pernah berwasiat kepada putranya, Hasan dan Husein, sesaat sebelum meninggal dunia: “Sesung­guhnya kekayaan yang paling tinggi nilainya adalah akal pikiran. Kemelaratan yang paling parah adalah kebodohan.”
Yang kedua tentang hati. Kata Imam al-Ghazaliy, hati itu ibarat cermin. Kalo nggak pernah dibersihkan, maka akan berkarat oleh debu. Itu sebabnya, bila kita tidak memanfaatkan waktu untuk mengingat Allah, untuk hadir di majelis-majelis dzikir, hati kita akan kosong. Ujungnya, kita mudah resah, putus asa, frustrasi dan sejenisnya.
Menyia-nyiakan waktu juga bisa berakibat kosongnya jiwa kita. Sayyid Qutb memberi gambaran: “Itulah jiwa yang kosong, yang tidak pernah mengenal makna serius. Ia bersikap santai meski menghadapi bahaya yang mengintai. Ia bercanda ria di saat membutuhkan keseriusan dan senantiasa meremehkan permasalahan yang suci dan sakral. Jiwa yang kosong dari sikap yang serius dan penuh kesucian, akan meremehkan setiap persoalan yang menyelimutinya, mengalami kegersangan jiwa dan dekadensi moral.”
Tuh, buktinya sekarang. Ketika banyak orang ngasih nasihat agar jangan merayakan tahun baru, ternyata banyak juga yang tak mempedulikannya. Tak lagi dianggap sebagai bentuk peringatan, malah dilecehkan.

Kalo kamu mulai menyia-nyiakan waktumu, maka itu artinya kamu sudah mengarahkan langkah kamu ke dalam jurang kehancuran. Kosong akal, kosong hati, dan kosong jiwa. Kalo udah begitu, alamat kehidupan ini terasa garing dan nggak bermakna. Padahal, kehidupan di dunia ini cuma sesaat dan amat semu. Jadi, mulai sekarang dewasalah Bro en Sis. -Nggak usah ikut-ikutan merayakan tahun baru, nggak ada manfaatnya. Sebaliknya hal itu justru membawa mafsadat (kerusakan) bagi akidah kita, juga kepribadian kita. Hindari dan jauhi pesta jahiliyah tersebut. Ok? Sip! [solihin | Twitter @osolihin]

agamamu bukan agamaku

gaulislam edisi 322/tahun ke-7 (20 Safar 1435 H/ 23 Desember 2013)

Dear sobat gaulislam, bertahun-tahun hidup di Indonesia dengan muslim sebagai mayoritas penduduk sebenarnya membuat saya ‘kagum’ karena di bulan Desember yang belum juga nyampe tanggal 25 udah penuh dengan nuansa hari raya Natal. Lihat aja tayangan-tayangan tv udah mulai siap dengan film-film bernuansa Natal. Mal-mal dan pusat perbelanjaan pun demikian, selama 1 bulan penuh nuansa Natal dan diskon gede-gedean digelar.  Apalagi ada fakta yang bikin saya mengelus dada yaitu justu para karyawan yang muslim di mal dan pusat malah disuruh memakai topi sampai kostum ala Sinterklas. Belum lagi entar ada yang ujug-ujug sowan ke rumah-rumah teman atau bos demi merayakan dan ngucapin selamat Natal—karena alasan ‘nggak enak’. Uff… kok gini banget ya? Emang toleransi itu sejauh mana sih?

Mau tahu jawabannya? Kamu kudu belajar lebih mendalam tentang Islam, Bro en Sis. Tetapi jangan khawatir, kalo kamu mau baca terus artikel ini, insya Allah dapat juga jawabannya meski tak banyak. Semangat!


Sensitif tapi kudu!

Yup, masalah perbedaan keyakinan memang sensitif. Tapi justru karena sensitif jadi kudu dipahami.  Kalo nggak paham, jadilah semua agama ibarat ‘komedi putar’. Muter kemana aja arahnya, semua sama. Wadoouw!

Sensitif? Ya memang! Makanya kudu ada yang namanya toleransi biar sensitivitas itu nggak meruncing dan bikin perpecahan. Nggak enak banget kan, kalo berantem ternyata pangkal masalahnya adalah perbedaan keyakinan alias agama. Coz, ya emang beda duluan apanya yang mau disamain? Toleransi? Yap, bener banget!  Tapi harus dipahami seperti apa sih toleransi yang bener dalam perbedaan keyakinan. Itu masalah yang harus kita ketahui dan samakan persepsinya.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sebenernya simpel aja sih. Sederhana. 

Toleransi dalam beragama berarti ya membiarkan mereka yang berbeda agama dengan kita untuk menjalankan seluruh ibadah dan ritual mereka tanpa kita ganggu. Begitupun sebaliknya. Jadi, ikutan dengan mereka untuk merayakan dan mengucapkan selamat di hari raya mereka, itu nggak termasuk perwujudan toleransi, apalagi sampe mau ngejalanin demi meramaikan hari raya mereka—misalnya pake kostum sinterklas walaupun hal itu demi kerjaan. Hmm… justru sebenarnya udah ‘mengorbankan akidah’ kita untuk ikut-ikutan mereka. Nggak banget deh!

Takut?

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?

 (HR Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, lihat al-Lu’lu wal Marjan, hadits no. 1708)

Sebenarnya saya udah angkat jempol buat Majelis Ulama Indonesia yang udah keren banget mengadakan pemantauan dan pengawasan dalam masalah toleransi beragama ini. Mulai dengan disahkannya fatwa ‘larangan merayakan Natal bersama’ bertanggal 7 Maret 1981 (walaupun hal-hal yang sudah nyata dan jelas hukumnya, nggak perlu lagi ada fatwa. Ya kayak gini susahnya hidup tanpa khilafah Islam). Justru MUI tegas menegur dan menghimbau agar tidak berlebihan dalam memasang atribut Natal ataupun perayaan agama yang bukan Islam sebagaimana dimuat dalam situs republika.co.id (22/12/2010). MUI pun mengingatkan kepada pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar tidak memaksa karyawannya yang beragama Islam untuk memakai simbol-simbol dan ritual Natal.

Dinas Tenaga Kerja kota Bekasi pun pernah membuka posko bagi para karyawan yang merasa keberatan bila tempat kerjanya memaksa mereka untuk mengenakan atribut Natal seperti dimuat dalam republika.co.id (22/12/2009).

Tetapi, data itu udah lama banget, tahun 2009 dan 2010. Lha kalo sekarang bagaimana? Seharusnya tetap seperti itu. Udah jelas kok batasannya.

Sobat gaulislam, rasa takut selalu menyergap perasaan kita gara-gara ‘toleransi’ perbedaan keyakinan ini.  Sebenarnya, lebih baik takut kepada Allah Ta’ala daripada takut kepada bos ataupun merasa nggak enak sama teman atau mungkin keluarga sendiri. Yup, daripada ngorbanin akidah sendiri, hayo! Kalo memang risikonya bakal kehilangan kerja dan lain-lain ya mending cari kerja or cari temen-temen yang bisa melindungi akidah deh. Tapi, selain itu sebaiknya positive thinking dulu. Lobi dulu. Omong baek-baek. Harusnya sih si bos ngerti, begitu juga temen kita.  

Walaupun mungkin nanti ada konsekuensi yang kita terima, misal nggak dapet uang bonus, hubungan pertemanan jadi renggang, menurut saya sih itu nggak masalah ketimbang dimurkai Allah gara-gara kita ikutan merayakan Natal atau mengucapkan selamat di hari raya mereka. Iya nggak sih?

Allah Ta’ala udah berfirman dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 44, “..dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

Selain itu, ada satu surat yang kayaknya udah kamu hafal dan mungkin dibaca setiap shalat. Yup, yakni firman Allah Ta’ala dalam surat al-Kaafiruun ayat 1-6 (kamu pasti tahu kan isinya? Hah? Lupa? Oke, saya tuliskan di sini ya, Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”)
Surat tersebut udah menegaskan bahwa toleransi perbedaan agama menurut Islam ya nggak boleh saling mencampuri urusan ibadah satu sama lain. So, mau takut apa lagi sih?Don’t worry be true muslim!

Negara penjaga akidah Islam

Yup, saat Islam belum lagi menjadi sebuah negara, Bilal bin Rabbah radhiallaahu ‘anhu tetap memegang teguh Islam sampe sekarat disiksa Umayyah bin Khalaf, majikannya yang adalah ‘orang penting’ kaum Quraisy. Kudu tuh kita jadikan contoh, sebab yang kita terima belumlah seberapa dibanding yang dirasakan oleh Bilal.

Nah, begitu Islam telah diterapkan dalam kehidupan, termasuk dalam bernegara ternyata sebenarnya negara kudu menjaga akidah warganegaranya. Baik Muslim maupun non Muslim. Lho? Iya, emang dikata kalo negara Islam isinya orang Islam semua? Ih, ketahuan tuh kamu nggak tahu sirah nabawiyah dan sejarah Islam (hehehe…)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Negara Islam yang beken dengan nama “Khilafah Islam” justru ternyata melindungi warganegara non-Muslim dalam menjalankan keyakinan dan agama mereka. Sampe dalam hal makanan dan pakaian, warganegara non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik, selama masih dalam koridor peraturan umum (yakni selama masih dibenarkan oleh syariah Islam); serta berhak melakukan pernikahan dan perceraian di antara mereka berdasarkan ketentuan agama dan keyakinannya. Tetapi kalo udah berhubungan dengan kepentingan publik dan negara, ya wajib tunduk pada aturan Islam.
Sekali lagi nih, dalam urusan keyakinan atau akidah, Islam nggak pernah memaksa seseorang untuk masuk ke dalam agama Islam. Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghutdan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Khilafah Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Khilafah Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun (Taqiyuddin an-Nabhani, ad-Daulah al-Islamiyah hlm. 145)

So, Guys. Sebenarnya masalah toleransi akan semakin afdol terlaksana kalo individu yang menjalankan keyakinannya dilindungi oleh negara. Asalkan toleransi ini sesuai Islam bukan toleransi versi pluralisme yang membuat umat Islam justru latah ikut-ikutan merayakan dan mengucapkan selamat dalam perayaan agama yang berbeda.

Oya, yang perlu ditekankan nih, sebagai muslim kita justru harus bangga karena di akhirat nanti kita jelas di surga, sementara orang kafir tempatnya di neraka. Allah Ta’ala berfirman,Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS al-Bayyinah [98]: 6-8)

Makin yakin dengan kemuliaan kita muslim kan? Then, keep your faith! Kita harus berani bilang ke teman or siapa saja yang nonmuslim: “Agamamu bukan agamaku”. Oke, sekian en terima kasih. [anindita | e-mail: thefaith_78@yahoo.com]

ulama dan umara

Ulama dan Umara, para ahli ilmu agama dan para pemimpin. Sebagian orang berpikir ulama yang baik adalah ulama yang menyalahkan para pemimpin di mimbar-mimbar atau yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan seorang pemimpin. Artinya, pemimpin berada pada satu wilayah, ulama berada pada wilayah yang lain. Terdapat pembatas yang memisahkan keduanya.
Sekilas kita akan merasa bahwa ulama yang baik adalah ulama yang jauh dari para pemimpin. Ini mungkin benar dari satu sisi : kalau ulama tersebut takut tergoda fitnah dunia dan kekuasaan yang bisa masuk ke dalam dirinya kemudian merusak agamanya.
Pada sisi yang lebih besar dari itu, kita mendapatkan jauhnya jarak antara ulama dan umara adalah tanda-tanda yang tidak baik bagi kehidupan beragama dan dunia kita. Bahkan pemisahan tersebut bisa menjadi bagian dari pemikiran sekuler yang memisahkan antara urusan negara dan agama.
Para ulama sibuk berceramah dan memberikan pencerahan di masjid-masjid, para pemimpin mengeluarkan aturan dan mengadakan kegiatan yang melanggar syariat. Seorang pemimpin mengadakan program-program pemerintahannya, para ulama berdiri di garis terdepan menjadi penentangnya. Saya dan anda pasti sepakat bahwa ini adalah pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.
Perpaduan dahsyat antara ulama dan umara
Mari kita lihat sebaliknya : bersamanya ulama dan umara. Seorang alim ulama mengadakan program dan kegiatan keagamaan, umara mendukung dan menjadi tiang penopangnya. Pada saat seorang pemimpin mengeluarkan keputusannya, ada seorang alim di sisinya yang memberikan pandangan dan masukan, agar keputusan itu tidak melanggar hukum syariat. Betapa indahnya ulama dan umara bersatu dan bersama untuk kebaikan umat! Saya yakin, kita tidak akan berbeda pendapat tentang hal ini.
Islam hadir dengan seorang pemimpin agama dan pemimpin negara pada diri satu orang, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitulah Negara Islam pertama kali, kepemimpinan agama dan dunia menyatu. Masa khulafaur rasyidin-pun masih mengikuti rel yang sama. Para khalifah pemimpin kaum muslimin, mereka adalah ulama sekaligus umara pada waktu yang sama.
Dari sini kita dapat memahami, bahwa kepemimpinan Islam pada dasarnya menyatukan ulama dan umara, keduanya menjadi pemimpin dan pembimbing umat kepada kebaikan.
Taatilah ulil amri!
Ketika Allah Ta’ala memerintahkan untuk mentaati ulil amri, kedua kelompok tersebut masuk ke dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisaa : 59)
Syaikh As Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri. Ulil Amriadalah orang yang memimpin, mereka terdiri dari para pemimpin dan ulama. Sesungguhnya urusan-urusan umat tidak akan menjadi baik kecuali dengan mengikuti perintah dan arahan mereka, dan itu merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’alaselama mereka tidak memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan” (Tafsir As Sa’di hal. 183)
Ulama dan umara dalam bingkai realita
Setelah perjalanan sejarah menjauh dari masa kenabian, kehidupan manusia semakin kompleks dan permasalahan umat semakin banyak, terjadi pemisahan dalam kepemimpinan umat. Umara (raja, gubernur, dll) bukan lagi seorang ulama, dan seorang ulama biasanya hanya menjadi seorang mufti, hakim, dan urusan-urusan yang terfokus pada permasalahan agama dan ilmu agama.
Tapi kita akan mendapatkan tinta sejarah mencatat bahwa para pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki nama-nama besar, mereka tidak terpisahkan dari Ulama, seperti ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, Shalahuddin Al Ayyubi, dan Muhammad Al Fatih.
Masa sekarang, kita dapatkan masih banyak dari pemimpin negara dan kerajaan Islam, yang memiliki kedekatan dan hubungan yang sangat baik dengan para ulama. Bahkan, seperti Kerajaan Saudi Arabia, keputusan-keputusan penting Kerajaan harus disetujui oleh ulama. Lebih dari itu, pengambilan keputusan itu sendiri melibatkan para ulama, yang mereka merupakan bagian terpenting dari kepemimpinan Raja Saudi Arabia.
Di sebagian negara yang umat Islamnya mayoritas, kita mendapatkan hal yang berbeda, ulama dan umara berada sisi yang saling berseberangan. Para pemimpin suatu negara atau pemerintah menjadi rintangan dan tantangan terbesar bagi Ulama dan gerakan Islam dalam menyebarkan dakwah. Ini adalah hal yang sangat-sangat tidak kita inginkan.
Sekali lagi, saya ingin menekankan satu perkara, bahwa ulama dan umara harus saling berdekatan dan bahu-membahu membangun umat dan menyebarkan kebaikan kepada umat manusia.
Saling melengkapi dan menasihati
Mungkin muncul pertanyaan: Bagaimana dengan yang namanya Ulama su’ (ulama yang jelek-red)? atau Ulama yang mengembek di balik para jas para pejabat? Benar salah yang dilakukan si pemilik jabatan, ia menjadi pendukung. Lebih dari itu, dengan ilmu agama yang ia miliki, maka ia mencari dalil pembenaran bagi perbuatan seorang pemimpin yang salah. Saya katakan: “Itu salah besar, dan sangat disesalkan”.
Yang kita inginkan adalah kedekatan ulama di sisi umara, menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi penasehat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan.
Di sini ada dua sisi penting, memberi dukungan dan menasehati. Yang pertama mudah kita pahami, adapun yang kedua, maka kita perlu sedikit mendalami : Bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari umatnya dalam menasehati pemimpin mereka?
Ketika Nabi Musa menasihati fir’aun
Sebelumnya, mari kita perhatikan dengan baik ayat Al Qur’an berikut ini. Allah Ta’alaberfirman memerintahkan dua Nabi-Nya, Musa dan Harun ‘alaihis salam (yang artinya), “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya ia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha : 43-44)
Dua orang utusan Allah Ta’ala datang kepada raja yang paling zhalim, bahkan telah melewati batas dengan mengaku diri sebagai tuhan. Kita mendapatkan pelajaran yang sangat penting dari ayat ini, seburuk-buruk manusia walaupun ia serupa fir’aun, maka kita harus tetap mengunakan adab dan cara yang baik dalam mendakwahi dan menasehatinya.
Beginilah Nabi mengajarkan cara menasihati pemimpin
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara dan adab dalam menasehati seorang pemimpin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati seorang Sultan (pemimpin) pada sebuah perkara, janganlah ia menasehatinya secara terang-terangan (di depan umum), akan tetapi hendaklah ia berdua dengannya. Apabila nasehatnya diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, maka ia telah melakukan kewajibannya untuk menasehati” (HR. Ahmad, no. 15.333)
Imam Ibnu Muflih mengatakan, “Seseorang yang menasehati Sultan, tidak boleh menasehatinya kecuali dengan cara: menasehatinya, menakutinya, atau mengingatkannya akan akibat buruk dari perbuatannya di dunia dan akhirat. Itulah yang seharusnya dan tidak boleh selainnya” (Al Adab As Syar’iyah, 1/175)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Menyebutkan keburukan para pemimpin sehingga menjadi santapan umum, atau mengangkatnya di atas mimbar-mimbar, bukan merupakan cara para ulama salaf. Karena hal itu bisa menyebabkan kekacaun dan munculnya sifat tidak taat kepada pemimpin pada perkara yang baik, dan juga membawa pada perdebatan yang tidak membawa kebaikan, bahkan membawa keburukan.
Adapun cara para salaf adalah dengan menasehati seorang pemimpin secara langsung, atau mengirim surat kepadanya, atau menghubungi ulama yang punya hubungan dengan pemimpin tersebut, agar memberikan nasehat kepadanya”. (Majmu’ Fatawa Bin Baz, 8/210)
Semoga ulama dan umara kita bersatu selangkah membangun umat ini, dan seiya sekata dalam menyuarakan kebenaran. Aamiin.
Penulis : Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf, MA (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)

Minggu, 15 Desember 2013

remaja di kepung setan

gaulislam edisi 321/tahun ke-7 (13 Safar 1435 H/ 16 Desember 2013)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Wah, bener nih remaja dikepung setan? Benar. Faktanya saat ini bukan saja setan dalam bentuk jin, tetapi justru lebih banyak dalam bentuk manusia. Apapun kondisinya, saat ini remaja memang dikepung dengan jebakan dan serangan setan. Godaan dan rayuan serta bisikan kejahatan dalam hati remaja sudah sedemikian dahsyat. Apa buktinya? Kalo kamu nonton acara pertandingan bola basket, pastilah ada cheerleader. Nah, umumnya tuh cewek-cewek yang jadi penggembira di acara itu pakaiannya super minim. Ngeri! Jangan-jangan yang cowok seneng nonton pertandingan bola basket karena pengen juga ngeliat goyangan dan tingkah para cheerleader? Hadeeeuh!

Remaja yang melakukan mesum juga pastinya akibat godaaan dan jebakan serta bisikan setan. Kalo ada anak SMP di Jakarta beberapa waktu lalu mesum dengan teman sekelasnya yang videonya diupload ke internet, maka jangan heran jika banyak hal serupa dilakukan remaja lainnya karena merasa ada contohnya. Jauh sebelumnya, banyak fakta seperti itu di berbagai sekolah di negeri ini. Setan memang terus berusaha mencari cara agar banyak umat manusia terjerumus ke dalam jebakannya. Bahaya!

Bagaimana dengan yang pacaran? Hadeeeuh, sama aja. Kalo remaja muslim beriman pastilah nggak bakalan mau ngelakuin pacaran. Itu artinya, yang ngelakuin pacaran biasanya adalah mereka yang lemah iman. Coba lihat facebook mereka. Banyak yang update status dengan isi yang menceritakan pacaran. Nggak cukup dengan kata-kata, foto pun diuploadnya. Tentu saja dengan pose yang menggambarkan bahwa mereka sedang berpacaran. Ada yang menampilkan foto dalam pose ceweknya dipangku sama cowoknya, ada yang lagi suap-suapan, ada juga yang posenya deketan wajahnya (seperti hendak mencium) dan beragam adegan lainnya. Waduh, apa mereka nggak malu? Hah, malu? Udah ditaro di dengkul kali, bentar lagi juga diinjek sekeras-kerasnya rasa malu itu. Benar-benar memalukan bagi seorang muslim!

Godaan dan sekaligus jalan sesat yang ditebar setan muncul juga dalam bentuk saling menaburkan permusuhan. Maka, tak heran jika tawuran pelajar antar sekolah menjadi kegiatan rutin di beberapa daerah (baca: jadi semacam ekstra kurikuler dong?). Setan menggoda dan membujuk para aktivis tawuran dengan sejuta tipu-daya agar mereka mau saling meledek dan akhirnya baku hantam. Mengerikan!

Dalam bentuk apa lagi remaja dikepung setan? Dalam bentuk maraknya film horor yang tentunya selain merusak akidah, juga menebarkan pornografi. Ckckckc… ini sudah keterlaluan. Jebakan-jebakan setan sudah hadir dalam bentuk seperti ini. Iya. Sebab godaan dan bujuan setan dalam kondisi seperti ini adalah ditujukan kepada para produser film, sutradara, pemain film dan tentu saja penontonnya. Memang tak semua bisa tergoda dengan cara seperti itu, tetapi faktanya jumlahnya sangat banyak yang terjerumus ke lembah nista. Ya, banyak orang nggak merasa tergoda atau tersakiti dengan fakta film horor berbalut komedi dan pornografi. Mereka merasa bahwa itu hiburan, walaupun sedang digerogoti akidah dan akhlaknya. Astaghriullah.

BTW, tetapi sebenarnya kelakuan seperti itu dicontohkan juga lho oleh para orang tua mereka di rumah, di masyarakat sekitar dan juga di pemerintahan. Iya kan? Yup, memang begitu adanya (walau tidak semuanya begitu, tetapi justru sebagian besarnya memang demikian). Di rumah amat sedikit orang tua yang bisa memantau perilaku anak dan remajanya. Saat di masyarakat, orang-orang di sekitarnya tak peduli lagi dengan kerusakan yang ada. Begitupun dengan pemerintah, sepertinya tak pernah ambil pusing dengan banyaknya rakyat yang jadi korban kerusakan sistem kehidupan bernama kapitalisme-sekularisme ini. Jika dirunut, tentu ini juga ada kaitannya dengan jebakan dan sebaran kesesatan yang dilakukan setan dan balatentaranya untuk menjauhkan manusia dari Allah Ta’ala. Waspadalah!


Waspadai “Waswasah”

Waduh istilah apa nih? Tenang sobat, kita bakal bahas bersama-sama. Ok? Waswasah ini adalah bisikan-bisikan halus yang mengandung rayuan, bujukan, dan tipuan untuk melakukan kejahatan, maksiat, dan pengingkaran terhadap Allah Swt.

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Bisikan-bisikan yang berasal dari setan itu lembut banget sehingga nggak terasa masuk ke hati kita. Kalo kita lalai meminta perlindungan dari Allah Swt. bakalan gawat urusannya. Sumpah! Maka, jangan sampe deh bisikan-bisikan yang berupa rayuan tersebut membuat kita merasa benar dengan kesalahan kita, atau bisikan-bisikan itu berhasil membuat kita lupa diri dengan menanamkan niat beribadah malah menjadi ingin dipuji orang, bukan menggapai ridho Allah Swt. Waspadalah!

Hmmm.. seperti apa sih faktanya? Gini, nisalnya nih kamu mau ngasih shadaqah kepada fakir miskin, meskipun sejak dari rumah udah diniatkan karena Allah Swt., tetapi ketika di jalan ada bisikan-bisikan lembut tapi beracun yang dihembuskan oleh setan akhirnya niat kita berubah. Mulai ada semacam keinginan dipuji oleh orang lain, berbangga diri bahwa hanya kitalah yang bisa melakukan itu, atau malah menganggap bahwa apa yang kita lakukan jauh lebih baik dari orang lain yang pernah melakukan hal serupa. Halah, memang pinter banget tuh setan membujuk manusia untuk maksiat kepada Allah. So, dalam kondisi kayak gini, udah bisa dipastikan deh bahwa ikhlas kita ternoda oleh penyakit waswasah ini.

Allah Swt. udah ngasih warning buat kita dalam masalah ini melalui firmanNya (yang artinya), “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” (QS al-A’raaf [7]: 20)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Ayat ini memang berkisah tentang Nabi Adam ‘alaihi salam yang digoda oleh setan. Mungkin takdir kita sebagai manusia yang nggak bakalan lepas dari bujuk rayu setan yang akan menggoda dan menyeret kita untuk berbuat maksiat. Bisikan-bisikan sangat halus, sehingga manusia kadang nggak nyadar kalo itu sebenarnya dari setan. Kayak kita lagi tidur pagi, begitu adzan Subuh berkumandang, kita sebenarnya udah hendak bangun. Tapi, seolah-olah kita merasakan ‘bisikan’ seperti: “Udah deh, nanti aja bangunnya, masih adzan, belum iqomat.” Dan kita secara nggak nyadar mengiyakan dengan melanjutkan tidur kita.

Begitu iqomat terdengar nyaring di keheningan Subuh, kita berusaha bangkit dari tidur, tapi kadang terasa berat dengan merasa bahwa, “Ah, sayang banget udah iqomat, padahal tadinya mau ke masjid. Udah ah nggak jadi. Di rumah aja.” Tapi kenyataannya, kita malah nerusin tidur dan baru nyadar banget begitu kena guyur air oleh bapak or ibu kita. Halah, memang berbahaya tuh bisikan-bisikan setan. Niat kita ibadah aja diganggu. Bahkan ketika sudah melaksanakan ibdah pun, tetap diganggu dengan pikiran dan perasaan bahwa apa yang kita lakukan adalah paling hebat, paling baik dan paling benar sembari merendahkan dan meremehkan amalan orang lain. Cckckck.. emang kudu ekstra hati-hati euy!

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): “Kadang-kadang setan itu akan selalu datang kepada seseorang di antara kalian, lalu ia menyatakan: ‘Siapa yang telah menciptakan ini dan menciptakan itu, hingga ia berkata pula siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ Apabila telah sampai kepada hal itu, maka hendaklah ia memohon perlindungan Allah dan usirlah bisikan itu.” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra.)

Sobat gaulislam, hati-hati juga tuh kalo ada temen-temen kamu yang ngajak-ngajak kepada perbuatan yang nggak benar. Misalnya, kita udah niat banget karena Allah Swt. ketika pergi dari rumah ke sekolah. Eh, pas di jalan ketemu temen-temen malah niat kita jadi berubah. Niat awalnya udah ikhlas karena Allah mau belajar tapi kenyatannya malah nongkrong di tempat PS atau warnet game online. Kacau banget kan? Niat ikhlas kita dirusak tuh sama waswasah. Harus hati-hati pula karena bisikan-bisikan jahat itu bukan cuma datang dari setan yang berasal dari kalangan jin, tapi juga setan dari jenis manusia (maksudnya manusia yang sifatnya seperti setan).
Firman Allah Swt. (yang artinya): “yang membisikan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (QS an-Naas [114]: 5-6)

Sobat muda muslim, sekadar tambahan informasi aja tentang asbabun nuzul alias sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan pernah sakitnya Rasulullah saw. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah saw. pernah sakit yang agak parah, sehingga datanglah kepadanya dua malaikat, yang satu duduk di sebelah kepalanya dan yang satu lagi duduk di sebelah kakinya.
Berkatalah malaikat yang berada di sebelah kakinya kepada malaikat yang berada di sebelah kepalanya: “Apa yang engkau lihat?” Ia berkata: “Dia kena guna-guna.” “Apa guna-guna itu?” “Guna-guna itu sihir.” “Siapa yang membuat sihirnya?” Ia menjawab: “Labid bin al-A’syam Alyahudi yang sihirnya berupa gulungan yang disimpan di sumur keluarga Si Anu di bawah sebuah batu besar. Datanglah ke sumur itu, timbalah airnya dan angkat batunya kemudian ambillah gulungannya dan bakarlah.”

Pada pagi hari Rasulullah saw. mengutus Ammar bin Yasir dengan kawan-kawannya. Setibanya di sumur itu tampaklah airnya yang merah seperti pacar. Air itu ditimbanya dan diangkat batunya serta dikeluarkan gulungan itu ada tali yang terdiri atas sebelas simpul. Surat an-Naas ini (dan juga surat al-Falaq) turun berkenaan dengan peristiwa itu. Setiap kali Rasulullah saw. mengucapkan satu ayat terbukalah simpulnya. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Halalun Nubuwah dari al-Kalbi dari Abi Shalih yang bersumber dari Ibnu Abbas)

Oya, dalam kitab Bukhari terdapat syahid (penguat hadits) yang ceritanya seperti itu, tapi tidak menyebutkan sebab turunnya dua surat itu. Dalam riwayat lain ada syahid yang ceritanya seperti itu dan menyebutkan sebab turunnya kedua surat itu.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum Yahudi membuatkan makanan bagi Rasulullah saw. Setelah makan makanan itu tiba-tiba Rasulullah sakit keras sehingga shahabat-shahabatnya mengira bahwa penyakit itu timbul dari perbuatan yahudi itu. Maka turunlah Jibril membawa surat ini (dan surat al-Falaq) dan membacakan ta’udz. Seketika itu juga Rasulullah keluar menemui shahabat-shahabatnya dalam keadaan sehat wal ‘afiat.(Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitab al-Dalail dari Abu Jafar ar-Razi dari ar-Rabi bin Anas yang bersumber dari Anas bin Malik)
Jadi nih, emang sifat waswasah ini bahaya banget. Bukan cuma bisa ngerusak niat ikhlas kita dalam beberapa kondisi seperti mengubah niat yang benar menjadi niat yang salah karena godaan setan yang membisikan ke dalam dada manusia, tapi bahkan bisa menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan dan keburukan. 
Ya, buktinya banyak remaja yang pacaran, juga yang gaul bebas, bahkan ngelakuin seks bebas. Banyak pula remaja yang nggak mau menutup auratnya, nggak mau ngaji, nggak mau belajar Islam.Naudzubillah. Prihatin banget deh. Maka, yuk kita berlindung kepada Allah Swt. dari segala godaan setan yang terkutuk itu. Mulai dari mana? Mulai dari kamu baca artikel ini, lalu belajar, paham, dan  mengamalkan semua kebaikan yang diajarkan Islam. Ayo, mulai semangat mengkaji Islam!
 [solihin | Twitter @osolihin]

menyalurkan cinta pada tempatnya

Jatuh cinta……..berjuta rasanya. Begitu sulit mendefinisikan cinta namun sangat mudah mendeteksinya. Orang-orang yang telah terinfeksi virus cinta akan menampakkan gejala luar biasa. Matanya akan berbinar jika menatap si dia, bicaranya gagap seolah lidah kelu enggan bekerja sama. Jantung berdebar ketika membayangkan wajah pujaan hati. Semua yang berkaitan dengan dia akan tampak sempurna. Penderitaan dalam mengejar cinta pun terasa nikmat.
Saudaraku muslim yang dirahmati Allah, cinta merupakan anugrah dan fitrah bagi manusia. Tanpa cinta, entah bagaimana wajah dunia. Allah telah menanamkam pada manusia kecintaan terhadap lawan jenisnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Q.S. Ali Imran : 14).
Namun ibarat pisau bermata dua, anugrah terkadang berujung petaka. Jika tidak pandai mengelolanya, maka anugrah yang seharusnya manis akan terasa pahit dan perih. Sedangkan manusia dalam mengekpresikan cinta ini terbagi manjadi dua : kelompok pendulang dosa dan kelompok pendulang pahala.
Kelompok pertama (para pendulang dosa)
Kelompok pertama ini mengekpresikan cintanya dengan cara yang salah. Mereka menginjak-injak hak Allah dengan mengatasnamakan cinta. Sehingga cinta yang mestinya bening dan suci menjadi keruh dan hina. Bukan rahasia lagi kalau remaja kita sebagian besarnya masuk dalam kelompok ini. Mereka memamerkan aktifitas percintaan yang tak bertanggung jawab di depan mata kita. Dari lirik-lirikan sampai mesra-mesraan, dari bergandengan tangan sampai berpelukan. Pacaran, begitu mereka menamainya.
Saudaraku yang dirahmati Allah, diantara tanda kasih sayang Allah pada hamba-Nya adalah ketika Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk” (Q.S. Al Isra’ : 32). Dalam ayat ini, Allah melarang dari zina, bahkan hanya dengan mendekatinya, karena zina adalan jalan yang buruk yang akan merugikan pelakunya di dunia dan akhirat. Dan bukan rahasia lagi kalau aktifitas dalam pacaran hampir seluruhnya menggiring pada zina.
Namun sangat disayangkan, seribu satu alasan akan dilontarkan oleh aktifis pacaran untuk menghalalkannya. Sehingga muncul anggapan bahwa tidak afdhalsebuah pernikahan tanpa diawali pacaran, karena pacara adalah washilah (sarana) untuk saling mengenal pasangan. Muncul juga anggapan bahwa pacaran adalah trend anak modern.
Demikianlah setan terus-menerus menghiasai sebuah kedurhakaan dengan label baru untuk menjerumuskan anak cucu Adam. Bukankah Iblis telah bersumpah “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash di antara mereka” (Q.S. Shaad : 82-83). Ayat ini menjelaskan bahwa Iblis akan bersusah payah menggoda manusia agar menyimpang dari jalan Allah. Dia selalu mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam, salah satunya lewat virus merah jambu bernama cinta. Maka janganlah meremehkan perkara ini dan menganggapnya kecil. Bukankah seorang bijak pernah berkata, “Tinggalkanlah dosa yang kecil maupun yang besar, itulah ketaqwaan. Berbuatlah seperti orang yang berjalan di atas duri. Dia waspada terhadap apa yang dia lihat. Janganlah kamu meremehkan yang kecil karena gunung itu adalah kumpulan kerikil”.
Saudaraku yang dirahmati Allah, janganlah coba-coba durhaka kepada Allah meskipun pada hal-hal kecil karena kita tidak tahu akan berujung ke mana dosa itu. Cukuplah kisah Barshisha -salah seorang ahli ibadah yang mengakhiri hidupnya dengan tragis gara-gara perkara kecil- menjadi pelajaran bagi kita.
Dikisahkan bahwa Barshisha telah beribadah dalam kuil selama tujuh puluh tahun dan tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Lalu setan ingin menggodanya dengan ilmu hilah (rekayasa), maka setan berangkat ke tempat Barshisha dengan menjelma sebagai seorang ahli ibadah dan berpura-pura giat dalam ibadah sehingga Barshisha tertipu dengan penampilannya dan menaruh simpati kepadanya. Ketika setan hendak meninggalkannya, setan mewariskan sebuah do’a yang konon ampuh menyembuhkan penyakit. Kemudian setan pergi kepada seorang lelaki lalu ia mencekiknya, kemudian ia menjelma seorang tabib lalu berkata kepada keluarganya bahwa yang bisa menyembuhkannya adalah Barshisha. Seketika lelaki tersebut sembuh setelah diobati Barshisha.
Demikianlah, setan terus mengganggu manusia lain dan menyuruhnya untuk berobat kepada Barshisha dan meminta doa kepadanya untuk kesembuhan (dengan tujuan untuk mengganggu peribadahan Barshisha). Hingga suatu hari setan mengganggu seorang gadis Bani Israil yang memiliki tiga saudara laki-laki. Setan menyiksa dan mencekik gadis tersebut. Lalu setan datang kepada keluarga tersebut dengan menjelma menjadi seorang dukun dan merekomendasikan agar berobat kepada Barshisha.
Mereka pun menuruti nasihat setan untuk mendatangi Barshisha, kemudian mereka meminta Barshisha untuk mengobati gadis itu lalu meninggalkannya di dekat kuilnya. Dari sini benih- benih kehancuran Barshisha mulai tumbuh. Setan pun beraksi, dengan lihainya setan mengganggu gadis itu dengan mencekiknya agar Barshisha datang mengobatinya. Pertemuan-pertemuan itu akhirnya menggiring Barshisha pada cinta lokasi. Bermula dari tatapan mata kemudian merembet pada obrolan dan aktifitas lainnya. Sehingga terjadi apa yang terjadi, Barshisha menggauli gadis tersebut hingga berbadan dua. Tidak berhenti sampai di sini, setan merayu Barshisha agar membunuh bayi dan gadis tadi untuk menutupi kejahatannya. Kemudian Barshisha mengubur keduanya di lereng gunung sambil menyiapkan alasan bagi saudara-saudaranya.
Tiba-tiba ketiga saudara gadis itu datang untuk menjenguk adik mereka. Mereka menanyakan keadaannya. Barshisha menjawab, “Setan datang dan aku tidak mampu melawannya.” Maka mereka percaya dan pulang. Pada saat malam hari, setan datang dalam mimpi ketiga saudara gadis itu mengabarkan bahwa saudari mereka telah dinodai Barshisha hingga melahirkan seorang anak namun kemudian dibunuh untuk menutupi aibnya. Setan juga memberitahukan di mana saudari mereka dikuburkan. Akhirnya kejahatan Barshisha terbongkar dan dihukum mati.
Di akhir hidupnya, setan datang menawarkan bantuan, setan mengaku bisa menyelamatkan Barshisha asal dia mau bersujud kapadanya. Maka Barshisha pun sujud kepadanya, kemudian setan berlari kegirangan karena berhasil menjerumuskan Barshisha pada dosa yang paling besar, yaitu syirik. Begitu tragis nasib Barshisha, hidupnya berakhir dengan kesengsaraan. Semuanya berawal dari hubungan terlarang yang sebagian orang meremehkannya. Jika seorang ahli ibadah saja bisa terjerumus, maka bagaimana dengan anda?
Kelompok Kedua (para pendulang pahala)
Mereka adalah orang-orang yang tidak mendahului cintanya dengan keharaman. Mereka para lelaki sejati yang mengetuk pintu saat menawarkan cinta. Mereka para pemuda yang menjaga kehormatan dan enggan mengobral cinta. Mereka mengikat cintanya dengan akad pernikahan. Kemudian berpacaran sambil mendulang pahala. Siapa sangka begitu banyak pahala yang diraup di sela-sela kemesraan suami istri.
Pada suatu hari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Dan pada hubungan intim salah satu diantara kalian dengan istrinya terdapat sedekah”. Mendengar ini maka para sahabat keheranan, bagaimana mungkin dalam syahwat terdapat pahala? Kemudian Nabi menjelaskan, ”Bagaimana pendapat kalian jika seseorang meletakkan syahwatnya pada yang haram? Bukankah itu dosa? Demikianlah, jika meletakkannya dalam kehalalan maka baginya pahala”. (H.R. Muslim).
Inilah keindahan Islam, bahkan dalam kesenangan terdapat pahala. Lalu bagaimana amal yang lainnya? Seperti kerja keras banting tulang untuk menghidupi anak istri? Tentu pahala yang diraup semakin banyak. Maka menikahlah wahai para pemuda, agar engkau bisa berpacaran sambil mendulang pahala. Putuskan hubunganmu dengan pacarmu, ketuklah pintu rumahnya kemudian temuilah ayahnya agar engkau bisa lekas meminang pujaan hati. Jangan takut dan ragu karena kemiskinan, yakinlah pertolongan Allah segera datang. Nabi telah menjanjikan hal ini dengan sabdanya, ”Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah : orang yang berperang di jalan Allah, budak yang menebus dirinya dari tuannya, orang yang menikah dengan tujuan menjaga kehormatan dirinya”. (H.R. Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Syaikh Albani).
Penulis : Ustadz Roby Aryanto, S.T.

Minggu, 08 Desember 2013

mengubur liberalisme

gaulislam edisi 320/tahun ke-7 (6 Safar 1435 H/ 9 Desember 2013)

Alhamdulillah, ketemuan lagi ya bareng buletin gaulislam. Buletin kesayangan kamu semua. Tentu saja, meski hanya bertemu via tulisan dan di dunia maya pula, tetapi tidak mengurangi nilai pertemuan ini. Insya Allah tetap bermanfaat karena ilmu yang terus didapat. Wawasan kamu bertambah luas, sehingga menjadi pemahaman yang bermanfaat. Ragamu tetap sehat dan keimananmu semoga kian meningkat. Walhasil, kamu jadi pribadi muslim yang memikat karena kian taat. Taat kepada siapa? Pastinya taat kepada Allah Ta’ala.

Bro en Sih rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Sejak akhir November 2013 kemarin sebetulnya kita disuguhi berita yang tak begitu istimewa untuk ukuran kehidupan jaman sekarang yang menghamba kepada kebebasan berperilaku. Yup, pastinya kamu ngeh dengan berita seorang penyair (sebagian kalangan menyebutnya sastrawan) yang berpaham liberal yang dituding telah memperkosa seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta. Tetapi belakangan pelakunya, yang tak lain adalah Sitok Srengenge alias Sitok Sunarto mengakui telah melakukan hubungan seks dengan mahasiswi tersebut. Dia berdalih bukan pemerkosaan, tetapi suka sama suka—cuma menurut pengakuannya, dia hanya khilaf. Well, ini memang buah kebebasan yang dianutnya.

Mengapa berita jadi heboh? Dalam jurnalistik, berlaku pameo “name make news” alias nama membuat berita. Saya, kamu, dan masih banyak orang sudah tahu bahwa kasus seks bebas bukanlah hal yang asing di negeri kita ini. Banyak orang yang lemah iman sudah sering melakukannya. Hanya saja, karena Sitok Srengenge termasuk orang yang terkenal, maka berita tersebut jadi heboh. Bahkan di Majalah Detik edisi 106 (9-15 Desember 2013) jadi judul utama: “Skandal Sitok Srengenge” (lengkap dengan wajah penyair liberal tersebut yang menghiasi cover majalah). Namanya cukup terkenal di jagat penulisan sastra, khususnya puisi. Maka, seketika berita buruknya itu jadi santapan media massa. Siapa menuai angin, ia akan menuai badai. Sitok Srengenge adalah satu contoh penyair liberal yang akhirnya mencontohkan (atau terpeleset?) kebusukan ide liberalisme yang dianutnya. Selain dia, ribuan bahkan mungkin jutaan manusia lainnya sudah menjadi korban kebebasan semu bernama liberalisme. Waspadalah!

Sobat gaulislam, mungkin kamu bertanya-tanya: “mengapa judul gaulislam edisi 320 ini mengubur liberalisme?” Baik. Saya harus bertanggung jawab untuk menjawabnya. Begini, Bro en Sis. Liberalisme itu memang paham yang berbahaya. Secara sederhana saya jelaskan bahwa paham ini hendak mendobrak aturan agama. Para penganutnya, termasuk di dalamnya para pengemban paham liberalisme ini, ingin memutuskan ikatan agama dalam semua apsek kehidupannya. Mereka tak mau diikat oleh aturan agama yang dianggapnya mengekang kebebasan berpikir dan berperilaku. Gawat bener! (backsound: jadi harus dikubur).


Sejarah liberalisme

Bro en Sis rahimakumullah, saya mau sedikit mengulas tema ini secara serius ya. Kalo ada kata yang agak sulit dicerna saya berharap kamu nggak tambah bingung. Telen aja dulu, nanti kalo masih bingung boleh tanya ke orang terdekat yang kamu yakini benar cara pandangnya. Boleh juga kirim email atau SMS ke gaulislam ya (alamatnya ada kok di buletin gaulislam edisi cetak).
Sobat muda muslim, kebetulan saya punya buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran karya Dr Syamsuddin Arif. Dalam buku ini ditulis (di halaman 76, juga di halaman 78-79) bahwa dilihat dari asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’.

Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Dr Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama. Lebih detilnya, silakan cek di buku tersebut yang diterbitkan Gema Insani.

Dalam literatur yang lain, sengaja saya ‘obral’ informasinya di sini supaya kamu ngeh ya. Nah, salah satunya adalah menurut Dr Adian Husaini. Apa pendapat beliau? Yup, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terlepas dari tiga faktor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.

Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Kristen Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang orisinal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memang misterius. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 28-51.)

Sebagai kesimpulan dari sejarah singkat liberalisme, saya kutipkan pendapatnya Dr Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurut beliau, dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama. (Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonilias. Ponorogo: CIOS-ISID, 2007, hlm. 33-35.)

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Semoga kamu nggak spaneng ya baca istilah-istilah yang saya tulis di atas. Saya sih insya Allah ngerti. Cuma problem saya adalah bagaimana menyederhanakan istilah itu supaya kamu ngerti. Hehehe.. ngeles. Tetapi insya Allah bisa dipahami kan? Ya, seharusnya bisa paham karena faktanya udah sejelas siang hari. Kita sebenarnya patut prihatin karena liberalisme juga pada akhirnya melanda kaum muslimin. Banyak kaum muslimin yang nggak percaya dengan ajaran agamanya. Tak sedikit yang jauh dari ulama, tetapi dekat dengan para penjahat pemikiran dan berteman dengan mereka yang berperilaku liar, dengan alasan kebebasan berlabel hak asasi manusia. Waspadalah!


Bahaya HAM

Setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari HAM (Hak Asasi Manusia) sedunia. Dideklarasikan sejak 10 Desember 1948, dan mulai diperingati setiap tahun pada 1950. Namun sampai sekarang, prakteknya jauh panggang dari api. Lihat sajalah, bagaimana ribuan kaum muslimin di Rohingya masih menderita oleh kekejaman etnis Budha dan dibiarkan oleh rezim pemerintah Myanmar. Di Suriah, kaum muslimin sudah hampir 3 tahun ini dizalimi pemimpinnya sendiri. Di Palestina, malah sejak 1948 hingga sekarang tanahnya dirampas dan negerinya dijajah oleh Israel. Rakyat Irak, Afghanistan, Somalia dan di negeri-negeri muslim lainnya menderita. Pertanyaannya, di manakah orang-orang yang menyuarakan HAM? Bungkam! Seharusnya fakta itu menjadikan kita paham bahwa jika korbannya kaum muslimin, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) diam seribu bahasa. Payah!

Di Indonesia juga sama kok. Cuma bedanya bukan kekerasan fisik, tetapi penghancurkan lewat pemikiran dan budaya. Paham liberalisme digembar-gemborkan dalam bentuk kebebasan berpikir dan kebebasan berperilaku. Akibatnya, banyak orang yang terpengaruh ide ini menjadi liar. Maka, lihatlah seks bebas meningkat. Gaul bebas dalam bentuk pacaran juga dibiarkan saja. Peredaran narkoba terus meningkat karena pemerintah tak pernah serius menghukum pengedarnya. HIV/AIDS terus menggerayangi banyak manusia sebagai akibat dari salah gaul (baca: seks bebas). Orang-orang yang mengaku muslim tapi liberal berkeliaran mencari mangsa. Mengerikan dan menyeramkan. Tetapi itulah yang terjadi, kawan!
Sobat gaulislam, nggak usah tertipu dengan tawaran HAM yang dipasarkan Barat. Karena sejatinya cuma ngejerumusin manusia ke jalan yang rusak dan sesat. HAM versi demokrasi bukan menyelamatkan manusia, tapi menyengsarakan manusia. Bukti nyata udah bejibun yang bisa kamu lihat dan rasakan. Ngeri!

Islam, sebenarnya udah menjaga kehormatan manusia dengan memberikan beberapa jaminan yang sesuai fitrah manusia dan berdasarkan tuntunan dari Allah Swt., pencipta manusia. Beberapa poin yang dijamin oleh Islam dalam kehidupan ini adalah: jelasnya keturunan, perlindungan terhadap akal manusia, kehormatan, nyawa, harta, rasa nyaman beragama, juga tentang rasa aman, dan pembelaan terhadap negara. (selengkapnya silakan baca Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, karya Muhammad Husain Abdullah, hlm. 81-84)

Lha, kalo sekarang dalam sistem demokrasi, atas nama HAM orang bebas beragama dan berkeyakinan, apa hal itu bisa menyelamatkan manusia? Nggak banget!
Islam memang nggak memaksa manusia untuk memeluk ajaran Islam. Allah Swt. udah ngejelasin dalam firmanNya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS al-Baqarah [2]: 256)

Ini artinya, Negara Islam, atau kaum Muslimin nggak boleh memaksa orang lain untuk masuk agama Islam. Misalnya ngancem: “Kalo kamu nggak mau masuk Islam, saya dan kawan-kawan akan gelitikin kamu selama tujuh hari tujuh malam nonstop!” Waduh, Afgan mode on. Nggak. Islam nggak ngajarin seperti itu.

Tapi nih, kalo udah masuk Islam ya harus terikat dengan aturan Islam, tuh. Allah Swt. berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 208)

Dalam  menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan: “Allah Swt. telah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin dan mempercayai RasulNya agar mengadopsi sistem keyakinan Islam (‘akidah) dan syariat Islam, mengerjakan seluruh perintahNya dan meninggalkan seluruh laranganNya selagi mereka mampu.” (Ibnu Katsir,Tafsir Ibnu Katsir I/247)

Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa, ayat ini diturunkan pada kasus Tsa’labah, ‘Abdullah bin Salam, dan beberapa orang Yahudi yang baru masuk Islam. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah saw. agar diberi ijin merayakan hari Sabat, hari raya umat Yahudi. Tapi, permintaan ini dijawab oleh ayat di atas.

Nah, termasuk dalam kebebasan berpendapat kita nggak bisa bebas sesukanya ngomong atau nulis. Misalnya mengharamkan poligami, bolehnya wanita menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki, wanita tidak perlu mengenakan jilbab kalo keluar rumah karena itu budaya Arab, nggak wajib sholat dan puasa dsb. Lha, ini jelas ngada-ngada. Sekarang gini aja, apa boleh lirik lagu Garuda Pancasila diganti liriknya dengan lagu Gundul-Gundul Pacul? Nggak kan? Apalagi al-Quran. Masa’ kalamullah (ucapan Allah Swt.) mau diganti dengan ucapan kita. Salah, lagi. Bah, macam mana pula ini?

Dalam demokrasi, seks bebas marak, aborsi menjamur, tayangan pornografi berjubel, umbar aurat jadi pemandangan sehari-hari, korupsi jadi tradisi. Semua atas nama kebebasan, atas nama HAM. Musibah besar, Bro en Sis!

Padahal, Islam mengatur kehidupan manusia dengan benar. Islam nggak ngekang manusia tapi juga nggak membebaskan sebebas-bebasnya sebagaimana dalam sistem demokrasi. Maka, jangan percaya HAM versi demokrasi ye. Percayalah hanya kepada ajaran Islam. Pasti selamat dunia-akhirat. So, mulai sekarang, kita siapkan diri kita untuk memahami ajaran Islam dan mengamalkannya, untuk kemudian bersama-sama mengubur paham liberalisme agar tak meracuni pemikiran kaum muslimin. Siap? Harus!

 [solihin | Twitter@osolihin]