Rabu, 20 Januari 2016

muslim kok gitu..!

  gaulislam edisi 428/tahun ke-9 (23 Rabiul Awwal 1437 H/ 4 Januari 2016)

Jadi muslim itu, seharusnya bahagia. Banyak ustaz bilang bahwa menjadi muslim adalah anugerah terindah. Karunia besar yang diberikan Allah Ta’ala. Patut disyukuri. Namun, ada juga lho, muslim yang justru merasa risih dengan label muslimnya. Kok bisa? Usut punya usut, ternyata oknum muslim ini merasa terkekang. Sebab, dalam Islam, banyak batasan dan larangan, menurutnya. Ah, saya jadi teringat cerita seorang kawan yang kuliah di sebuah perguruan tinggi. Waktu itu, dia cerita ke saya bahwa ada teman sekampusnya yang malas bertanya seputar hukum, terutama menurut Islam. Kenapa malas bertanya? Sebab, menurut teman saya, temannya itu bilang, “Nanti kalo nanya sama kamu, terus jawaban kamu, nggak boleh. Jadinya kan kita nggak bisa melakukan hal itu lagi,” selorohnya enteng banget.

Lucu ya? Kalo yang ditanyakan hukum, ya harusnya nurut bin manut sama aturan. Bukan malah menghindar. Kalo memang nggak boleh, ya jangan ngakalin supaya jadi boleh. Hati-hati lho. Jangan sampe kita menjadi muslim yang nggak taat syariat, nggak taat sama ketentuan akidah Islam. Itu bisa bahaya, Bro en Sis!

Sobat gaulislam, selain memang harusnya bangga jadi muslim, tetapi juga kudu paham bahwa menjadi muslim banyak ujiannya. Nggak asik banget kan, kalo tiba-tiba ada yang komentar, “Ih, muslim kok gitu? Pacarannya pol!” Atau komentar lainnya, “Ah, muslim sih, tapi korupsinya juga getol!” Nah, malu banget kan? Seharusnya jadi muslim itu memberikan contoh yang benar dan baik, jangan malah bikin rese karena mencontohkan kelakuan yang bertentangan dengan Islam.

Full time muslim

Menjadi muslim itu harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupan. Selain tentunya sepanjang hayat masih dikandung badan. Fulltime muslim. Nggak boleh minta jatah waktu tertentu, misalnya jadi muslim pas siang aja, malam hari ya melepas identitas kemuslimannya. Itu nggak boleh terjadi. Bisa bahaya lho. Nggak asik banget kalo tiba-tiba ajal datang, eh pas kita lagi melepas status sebagai muslim. Padahal, Allah Ta’ala udah ngasih peringatan keras, bahwa nggak boleh sama sekali kita ketika mati dalam kondisi nggak beriman, bukan muslim. Harus tetap dalam keadaan beriman dan tentu saja tetap menjadi muslim sampai kita mati.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali ‘Imran [3]: 102)

Tuh, catet dah. Semoga kamu bisa memahaminya ya. Iya lah, udah gede bin bangkotan masa’ nggak paham. Hehehe.. sori, jangan dimasukkin ke hardisk, eh, hati. Anggap aja ini beneran, bukan guyonan. Bener. Sebabnya, seharusnya hal ini udah jadi pemahaman setiap muslim. Bahwa menjadi muslim itu harus terus sepanjang waktu, full time muslim. Selama hayat masih dikandung badan, selama nyawa belum lepas dari raga, kita kudu tetap mempertahankan keyakinan kita bersama Islam. Nggak boleh luntur gairah, nggak boleh padam semangat. Kuatkan diri agar kokoh akidah, bagus akhlaknya, luas pengetahuannya. Jadilah muslim sejati. Jangan mau jadi muslim abal-abal atau yang memilih part time muslim. Idih, emangnya kerja pake istilah paruh waktu segala? Kalo jadi muslim jangan setengah-setengah. Harus full. Masa’ kalo makan pengennya full, kalo maen gim pengennya waktu bebas full time, tetapi untuk menjadi muslim malah part time? Bikin rugi di kemudian hari itu sih. Ih, muslim kok gitu?

Sobat gaulislam, saya sedih juga lho kalo ada remaja muslim yang kelihatannya alim banget pas pengajian atau kegiatan rohis, tetapi ngedadak beringas bak macan keluar kandang pas ngelihat lawan jenis. Udah gitu, malah janjian ketemuan ama lawan jenis dengan alasan ta’arufan, meski isinya sih sama aja dengan pacaran. Idih, muslim kok gitu?

Lain waktu ada seorang pembaca buku-buku saya. Salah satu buku yang dibacanya adalahJangan Nodai Cinta. Waktu itu nih memang teman sekantor walau beda divisi dan usia juga terpaut jauh. Dia mengaku baca buku tersebut saat dia SMA. Nggak nyangka katanya kalo ternyata penulisnya ada di kantor yang sama saat itu. Komentar dia terhadap buku saya sih, bagus. “Isinya bagus,” begitu nilainya. Eh, pas pulang kantor malah dia mau dibonceng sama teman cowoknya yang satu kantor. Udah saya bilang, “Nggak boleh Mbak. Itu kan bukan mahrom.” Eh, dia malah enteng menjawab, “Udah mau hujan nih!” Yee… muslimah kok gitu? Hadeeeuhh. Bro en Sis, yang model gini cukup banyak. Kasihan banget. Tetapi apa daya, saya pun cuma bisa ngasih tahu secara lisan dan tulisan, belum bisa mencegah dengan kuat. Itu pun kalo nemu langsung kasusnya. Kalo nggak ya nggak tahu juga.

Pengalaman yang hampir sama terulang juga. Waktu itu, saya mengisi acara buka bersama di sebuah masjid di suatu tempat di Jakarta. Panitianya meminta saya mengisi acara tersebut dengan membedah salah satu buku yang saya tulis bersama kawan saya. Ya, buku itu adalah Jangan Nodai Cinta. Setelah berbusa-busa menjelaskan tentang tata pergaulan antar lawan jenis dalam Islam. Mana yang dibolehkan, dan mana yang dilarang, eh malah memantul sempurna bagi beberapa remaja. Buktinya, usai acara, ada anak cowok (seingat saya itu panitia) yang malah nganterin temannya yang muslimah berboncengan di sepeda motor. Kontan saja saya reflek untuk mencegah anak itu. Eh, kata salah seorang panitia yang lain, “Kasihan Pak, rumahnya jauh. Nanti kemaleman,” komentarnya enteng. Waduh!

Saya jadi berpikir. Apakah saya yang salah menyampaikan secara lisan dan tulisan, atau memang anaknya bandel? Tak tahulah. Sampai sekarang saya sendiri selalu was-was. Khawatir apa yang saya sampaikan salah. Bisa bahaya banget, kan? Tetapi, ketika saya buka kembali isi buku itu dan saya ingat-ingat kembali perkataan saya, insya Allah nggak ada yang keliru. Meski demikian, saya tetap akan menyampaikan yang terbaik dalam mengingatkan sesama muslim. Khususnya teman-teman remaja yang menjadi sasaran dakwah saya selama ini. Bismillah!

Sobat gaulislam, contoh-contoh di atas yang udah saya paparkan, adalah beberapa fakta bahwa ada memang muslim yang part time. Sadar jadi muslim pas waktu-wakltu tertentu, misalnya saat shalat. Rajin sih shalatnya, tapi kacaunya, getol juga maksiatnya. Itu bukan full time muslim. Kasihan banget. Semoga segera sadar dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya keliru besar. Agar tak ada lagi peluang bagi orang di luar Islam, atau sesama muslim sendiri untuk berkomentar, “Muslim kok gitu?”

Citra diri sebagai muslim

Gambaran diri sebagai muslim, umumnya identik dengan kebaikan. Saat berbusana menutup aurat, saat berbicara hati-hati, berperilaku santun, dan rendah hati. Itu gambaran yang mencoba dibangun. Maka, ketika ada yang janggal dari citra diri sebagai muslimah, misalnya, komentar miring dan pedas kerapkali tersemat, “Muslimah kok, gitu? Muslim kok gitu?” Hilang sudah gambaran asli yang melekat sebagai ciri khas seorang muslim atau muslimah.
Citra diri itu penting. Walau hal ini bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, termasuk hal yang negatif. Seorang penjahat bisa mencitrakan diri jadi baik dengan cara berpura-pura dan menyusup menjadi anggota polisi. Atau sebaliknya, anggota polisi yang disusupkan ke kelompok kejahatan atau kriminal kayak di film The DepartedSo, citra diri itu penting. Tetapi persoalannya, seberapa penting pencitraan diri jika faktanya kita tak mampu untuk membuktikannya sesuai kenyataan?
Sobat gaulislam, tunjukkan kalo kamu adalah seorang muslim. Lalu, kuatkan tekad ntuk membela Islam. Jangan lupa, kokohkan akidah dan baguskan akhlak. Agar apa yang kita lakukan mendapat ridho Allah Ta’ala. Selain itu, memastikan bahwa tak ada celah bagi siapa pun untuk bilang, “Muslim kok gitu?”. Ingat sobat, apa yang kita pikirkan, pendapat yang kita sampaikan, perbuatan yang kita lakukan, akan menunjukkan citra diri kita. Itu sebabnya, yang kita pikirkan, yang kita sampaikan, dan yang kita perbuat adalah cerminan dari apa yang kita pahami tentang kehidupan. Dengan kata lain, citra diri sebagai muslim akan terwakili dari apa yang kita pikirkan dan lakukan. So, jadilah muslim sejati yang pikiran, perasaan, dan perbuatannya sesuai dengan tuntunan Islam.

Ada beberapa tips nih agar citra diri sebagai muslim, atau lebih tepatnya disebut kepribadian yang islami bisa kita miliki, Bro en Sis.

Pertama, akidah yang lurus dan tak goyah. Ini penting. Sebab, akidah yang lurus lagi kokoh adalah bagian yang paling membedakan antara seorang muslim dengan seorang yang kufur. Aneh banget kalo ada yang ngaku muslim, tetapi akidahnya nggak meyakini Allah Ta’ala sebagai pencipta dan wajib disembah. Firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]:162)

Kedua, takwa. Ya, ini sih sebenarnya udah pasti. Kalo udah beriman, harusnya bertakwa. Namun, karena ada aja yang ngaku-ngaku beriman, tetapi malah nggak bertakwa. Sederhana saja sih pengertian takwa itu. Laksanakan yang memang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan tinggalkan atau jauhi yang memang dilarang-Nya.

Ketiga, ibadahnya tidak saja benar, tetapi berlomba untuk dipebanyak dan diperbagus. Sebab, percuma ngaku sebagai muslim tapi jarang atau bahkan nggak pernah beribadah. Ih, muslim kok gitu?

Keempat, akhlak yang bagus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, amat agung akhlaknya. Nah, karena Rasulullah adalah orang yang paling layak dijadikan uswatun hasanah (teladan yang baik), maka dalam hal akhlak pun kita wajib mencontoh pribadi Rasulullah agar bisa bagus akhlaknya. Sebab, kalo akhlak kita jelek, nanti ada yang bilang, “muslim kok gitu?”

Kelima, memiliki pengetahuan yang luas. Bagaimana agar bisa memiliki pengetahuan yang luas? Tentu saja kamu dan kita semua kaum muslimin kudu belajar. Firman Allah Ta’ala,“Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(QS az-Zumar [39]:9)

Oke deh, sobat gaulislam. Semoga kita semua bisa menjadi muslim sejati. Bukan muslim abal-abal, yang salah satunya dicirikan dengan lain di hati lain di perbuatan dan ucapan. Tutup celah peluang sekecil apapun agar kita tak dilecehkan dengan kata-kata sindiran atau nada mempertanyakan, “muslim kok gitu?”. Jadi, ayo kita perbaiki kualitas diri kita seperti yang tadi udah dipaparkan ya. Semangat! [O. Solihin | Twitter @osolihin]

melirik wudhu nabi


wudhu
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, shalat dalam agama memiliki kedudukan yang sangat agung yakni rukun islam kedua setelah syahadat dan tiang (penopang) agama islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Inti (pokok) segala perkara adalah islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat” (HR Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al Hafizh Abu Thohir). Maka perhatikanlah sholat kita, apakah sudah sesuai dengan yang islam ajarkan ataukah belum?
Salah satu hal penting untuk menegakan shalat adalah wudhu. Wudhu merupakan salah satu syarat sah sholat. Jika kita melalaikan wudhu kita, maka secara otomatis shalat kita juga tidak akan sah. Maka sudah sepantasnya untuk memperhatikan wudhu kita, apakah sudah sesuai dengan yang diajarkan islam ataukah belum?

Hadits Tentang Wudhu

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhupernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian membasuh kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini. Kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Bersiwak Terlebih Dahulu Sebelum Wudhu

Dalam suatu hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Jika tidak memberatkan umatku, (pasti) akan aku perintahkan kepada mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu (HR. Bukhari). Inilah anjuran yang Nabi ajarkan kepada kita semua ketika berwudhu yaitu melakukan siwak. Siwak disini bisa menggunakan kayu siwak atau sikat gigi. Semoga Allah beri kemudahan untuk bisa mengamalkan hal ini.

Tata Cara Berwudhu

Dari hadits (dengan sedikit tambahan dari beberapa hadits yang lain) di atas dapat kita simpulkan bahwa wudhu yang Nabi ajarkan adalah dengan urutan sebagai berikut :
  1. Berniat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan yang ia niatkan” (HR. Bukhari & Muslim). Niat ini dilakukan di dalam hati, tidak perlu diucapkan.
  2. Membaca basmalah: ‘bismillah’. Berdasarkan hadits, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah, hasan). Maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya.
  3. Membasuh kedua telapak tangan sebanyak tiga kali.
  4. Mengambil air dengan tangan kanan, lalu dimasukkan dalam mulut (berkumur-kumur) kemudian dimasukkan dalam hidung (istinsyaqsekaligus melalui satu cidukan. Kemudian air tersebut dikeluarkan (istintsar) dengan tangan kiri. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.
  5.  Membasuh seluruh wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot (bagi yang memiliki). Batas wajah yang dibasuh adalah tempat tumbuhnya rambut (jika kepala botak, maka diambil batas wajar tempat tumbuhnya rambut) sampai dengan dagu tempat tumbuhnya rambut jenggot serta dari batas telinga kiri sampai batas telinga kanan.
  6. Membasuh tangan hingga siku dan sambil menyela-nyela antara jari-jemari, dengan mendahulukan tangan kanan terlebih dahulu.
  7. Membasuh kepala 1 kali dan termasuk di dalamnya telinga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Kedua telinga termasuk bagian dari kepala” (HR Ibnu Majah, disahihkan oleh Al Albani).
  8. Tatacara membasuh kepala ini adalah sebagai berikut: kedua telapak tangan dibasahi dengan air. Kemudian letakanlah di kepala bagian depan lalu tariklah tangan hingga kepala bagian belakang, kemudian tarik tangan kembali hingga kepala bagian depan. Setelah itu langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagian luar.
  9. Membasuh kaki 3 kali hingga ke mata kaki dengan mendahulukan kaki kanan sambil membersihkan sela-sela jemari kaki
  10. Tertib dan berurutan dalam membasuh setiap anggota wudhu
  11. Berdoa setelah wudhu dengan membaca “Asyhadu an laa ilaha illallahu, wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu. Allahummaj’alnii minat tawwabina waj’alnii minal mutathohhirin”. Artinya Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah (HR. Muslim). Ya Allah jadikanlah aku termasuk hamba-hambaMu yang rajin bertaubat dan menyucikan diri (HR. At-Tirmidzi, shahih).

Shalat Sunnah Setelah Wudhu

Islam mengajarkan kepada kita, yaitu disunnahkan untuk melaksanakan sholat dua rakaat setelah wudhu. Sebagaimana hadits di atas dari sahabat Humran –pembantu Utsman radhiallahu ‘anhu– bahwasanya Utsman berkata setelah beliau menjelaskan bagaimana tata cara wudhu “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari Muslim).

Kesalahan-kesalahan Dalam Wudhu

Ada beberapa hal yang mungkin kita kurang perhatian sehingga menyebabkan wudhu kita kurang sempurna sebagaimana yang Nabi ajarkan. Atau bahkan dapat menyebabkan kita berdosa.
  1. Melafazhkan niat. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnul Qayyimrahimahullahu “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –di awal wudhu- tidak pernah mengucapkan ‘nawaitu rof’al hadatsi’. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat riwayat –baik dengan sanad yang shahih maupun lemah- yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi” (Zaadul Ma’ad 1/196).
  2. Membaca doa khusus dalam setiap gerakan wudhu, seperti doa membasuh tangan dll. Padahal hal ini tidak terdapat satu riwayatpun dari Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Berkumur saja tanpa memasukkan air ke dalam hidung (istinsyaq), padahal keduanya termasuk dalam kategori membasuh wajah sebagaimana hadits tentang wudhu di atas.
  4. Tidak membasahi siku dan mata kaki. Hal ini sering kita lihat pada orang-orang yang terburu-buru dalam melakukan wudhu. Disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata “Kami pernah kembali bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah menuju Madinah hingga sampai kami bertemu air di tengah jalan, sebagian orang tergesa-gesa untuk shalat ‘Ashar, lalu mereka berwudhu dalam keadaan terburu-buru. Kami pun sampai pada mereka dan melihat air tidak menyentuh tumit mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Celakalah tumit-tumit dari api neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim).
  5. Perasaan was-was dalam melakukan wudhu, sehingga seringkali orang tersebut harus mengulangi wudhunya berkali-kali. Padahal perasaan was-was seperti ini berasal dari syaithan yang tidak perlu dihiraukan.
  6. Penggunaan air yang boros. Hal ini berdasarkan hadits, dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR Bukhari Muslim). Jika kita bandingkan dengan ukuran sekarang, satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter, sungguh ukuran yang sangat hemat dalam penggunaan air. Lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah meneladani Nabi kita dalam berwudhu?

Pembatal Wudhu

Ada beberapa hal yang dapat membuat wudhu kita batal, yaitu :
  1. Kencing, buang air besar dan kentut.
  2. Keluarnya mani, wadi dan madzi.
Mani adalah cairan berwarna putih yang keluar memancar dari kemaluan, biasanya keluarnya cairan ini diiringi dengan rasa nikmat dan dibarengi dengan syahwat. Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing, berwarna bening, agak kental mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Madzi adalah cairan berwarna bening, halus, lengket, keluar ketika syahwat bergejolak, namun keluar tidak diiringi dengan syahwat, tidak muncrat, tidak menjadikan hilangnya rasa syahwat secara total, bahkan terkadang keluat tanpa terasa (lihat Syarah Shahih Muslim).
  1. Tidur lelap (dalam keadaan tidak sadar). Tidur yang dimaksud disini adalah tidur yang sangat lelap sehingga orang tersebut tidak tahu dengan kondisi sekitar, tidak mendengar sesuatu yang berada di sampingnya. Jika tidur yang tidak lelap, yang masih dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih bisa merasakan kondisi sekitar maka hal ini tidak mengapa. Hal ini berdasarkan hadits, dari Sofwan bin Assal, ia berkata : Adalah Rasulullah pernah menyuruh kami, apabila kami melakukan safar agar tidak melepaskan khuf kami (selama) tiga hari tiga malam, kecuali karena janabat. Akan tetapi (kalau) karena buang air besar atau kecil ataupun kerana tidur (pulas) maka cukup berwudhu. (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, hasan).
  2. Hilangnya akal yang disebabkan karena mabuk, pingsan, dan gila.
  3. Memakan daging unta. Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin Samuroh “Ada seorang yang bertanya pada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘apakah aku mesti berwudhu setelah maka daging kambing?’ beliau bersabda ‘jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu’. Orang tadi bertanya lagi, ‘Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging unta?’ beliau bersabda ‘Iya engkau harus berwudhu setelah maka daging unta” (HR Muslim).
Semoga Allah Ta’ala berkenan memberikan hidayah taufiq-Nya kepada kita semua.Wallahul muwaffiq.
Penulis : Moh. Darus Salam, S.Gz (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Murojaah : Ust. Abu Salman, BIS

kewajiban berhijab syar'i bagi muslimah

c96f71dcb42cd455ed6a4a29402919cb_t
Buletin At-Tauhid edisi 41 Tahun XI
Diantara kewajiban yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimah di zaman ini adalah menutup aurat dan menggunakan hijab muslimah yang syar’i. Dalam tulisan ringkas kali ini akan kita kupas seputar aurat dan hijab muslimah.

Batasan Aurat Wanita

Aurat artinya segala hal yang wajib ditutup ketika shalat dan dilarang untuk dilihat di luar shalat (Al Mubdi, 359). Dalil-dalil mengenai batasan aurat wanita diantaranya, AllahTa’ala berfirman (yang artinya): “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka” (QS. An Nur: 31). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31). AllahTa’ala juga berfirman (yang artinya): “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”” (QS. Al Ahzab: 59). Juga diriwayatkan dari ‘Aisyahradhiallahu‘anha, beliau berkata, Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullahshallallahu‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullahshallallahu‘alaihi wasallam pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya”. (HR. Abu Daud, hasan).
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, ulama berbeda pendapat mengenai batasan aurat bagi wanita. Ulama Hanafi, Maliki dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan ulama Hambali salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangan. Namun pendapat yang rajih, dan ini juga merupakan pendapat yang diterapkan oleh mayoritas kaum Muslimin di negeri kita, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dan alhamdulillah, pengetahuan tentang batasan aurat ini bukan hal yang asing di tengah masyarakat, bahkan telah diajarkan sejak di bangku sekolah dasar.

Kaki juga termasuk aurat

Kaki adalah bagian aurat yang paling sering dilalaikan oleh kaum muslimah untuk ditutupi. Padahal telah jelas diketahui bahwa kaki adalah termasuk aurat wanita. Selain dalil-dalil mengenai batasan aurat secara umum, terdapat juga beberapa dalil yang jelas menunjukkan bahwa kaki wajib ditutup. Diantaranya yaitu hadits Ummu Salamahradhiallahu’anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda mengenai masalah menjulurkan ujung pakaian, aku berkata kepada beliau, ‘wahai Rasulullah, bagaimana dengan kami (kaum wanita)?’. Nabi menjawab: ‘julurkanlah sejengkal‘. Lalu Ummu Salamah bertanya lagi: ‘kalau begitu kedua qadam (bagian kaki dari mata kaki hingga telapak kaki) akan terlihat?’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu julurkanlah sehasta‘. (HR. Ahmad 6/295, Abu Ya’la, shahih). Syaikh Al Albani menyatakan: “hadits ini dalil bahwa kedua qadam wanita adalah aurat. Dan ini merupakan perkara yang sudah diketahui oleh para wanita di masa Nabi. Buktinya ketika Nabi mengatakan: ‘julurkanlah sejengkal‘, Ummu Salamah berkata: ‘kalau begitu kedua qadam (bagian bawah kaki) akan terlihat?‘, menunjukkan bahwa Ummu Salamah sebelumnya sudah mengetahui bahwa kedua bagian bawah kaki adalah aurat yang tidak boleh dibuka. Dan hal itu disetujui oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Oleh karena itu beliau memerintahkan untuk memanjangkan kainnya sehasta. Dan dalam Al Qur’an Al Karim juga ada isyarat terhadap makna ini, yaitu dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya) “dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” (QS. An Nur: 31)” (Silsilah Ash Shahihah).

Siapakah yang memerintahkan wanita berhijab?

Hijab artinya setiap yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi atau menghalangi hal-hal yang terlarang untuk digapai maka itu adalah hijab (Al Kulliyat, 1/360). Maka hijab muslimah adalah segala hal yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi bagi seorang muslimah. Jadi hijab muslimah bukan sebatas yang menutupi kepala, atau menutupi rambut, atau menutupi tubuh bagian atas saja. Namun hijab muslimah mencakup semua yang menutupi aurat, lekuk tubuh dan perhiasan wanita dari ujung rambut sampai kaki.
Perintah berhijab tegas disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam Al Qur’an (yang artinya):  “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar ke dadanya…” (QS. An Nuur: 31).
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS. Al Ahzab: 59). Juga hadits mengenai batasan aurat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil tegas wajibnya berhijab bagi wanita muslimah. Maka perhatikanlah, yang memerintahkan para wanita muslimah untuk berhijab adalah Allah dan Rasul-Nya. Bukan orang tuanya, ustadz, kyai, atau siapapun.

Syarat-syarat hijab yang syar’i

Karena berhijab itu wajib bagi seorang muslimah, maka wajib pula baginya untuk mempelajari bagaimana kriteria hijab muslimah yang syar’i. Dan sebagaimana telah dijelaskan, hijab mencakup seluruh pakaian wanita dari ujung kepala hingga ujung kaki, ini semua hendaknya memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh syariat. Syarat-syarat hijab muslimah yang syar’i adalah sebagai berikut: “(1) Menutupi seluruh tubuh kecuali yang tidak wajib ditutupi; (2) Tidak berfungsi sebagai perhiasan (yaitu bukan untuk memperindah diri); (3) Kainnya tebal tidak tipis; (4) Lebar, tidak ketat yang menampakkan bentuk lekukan tubuh; (5) Tidak diberi pewangi atau parfum; (6) Tidak menyerupai pakaian lelaki; (7) Tidak menyerupai pakaian wanita kafir; (8) Bukan merupakan libas syuhrah (pakaian yang menarik perhatian orang-orang)” (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Lil Imam Al Albani).
Demikianlah kriteria hijab syar’i yang dijelaskan para ulama, bukan sekedar kain pembungkus rambut atau kain pembalut tubuh, sebagaimana yang banyak disalah-pahami oleh kebanyakan wanita muslimah. Semoga Allah memberi taufiq.

Alasan-alasan penghambat berhijab

1. “Saya belum siap berhijab”
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah” (HR. Bukhari). Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa semua perintah dalam Islam itu pasti mampu dan mudah dilakukan oleh semua manusia. Demikian juga berhijab, jika kita renungkan sebenarnya mudah dan siap kapan saja untuk dilakukan. Hanya saja setan senantiasa membisikkan berbagai macam alasan kepada para muslimah sehingga mengesankan berhijab itu sulit. Selain itu, renungkanlah firman Allah (yang artinya), “Hanya ucapan orang-orang beriman, yaitu ketika mereka diajak menaati Allah dan Rasul-Nya agar Rasul-Nya tersebut memutuskan hukum diantara kalian, maka mereka berkata: Sami’na Wa Atha’na (Kami telah mendengar hukum tersebut dan kami akan taati). Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. An Nuur: 51). Ketika diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, orang beriman mengatakan: “kami dengar, dan kami taat”, bukan “kami dengar, tapi nanti dulu saya belum siap”.
2. “Lebih penting jilbab hati terlebih dahulu”
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal darah, jika ia baik seluruh tubuh akan baik, dan jika ia rusak seluruh tubuh akan rusak” (Muttaqun ‘alaih). Maka jika hati itu baik, pasti secara lahiriyah baik. Baik di sini artinya sudah sesuai dengan tuntunan agama. Maka muslimah yang hatinya baik, pasti ia berhijab syar’i. Dan bagaimana mungkin seorang muslimah yang membuka aurat, melanggar ajaran agama, merasa hatinya sudah baik?
3. “Banyak wanita berhijab yang akhlaknya buruk, tidak sepadan dengan hijabnya”
Seorang muslimah, selama ia masih manusia, tentu masih berpotensi untuk berbuat dosa dan lupa. Baik ia sudah berjilbab atau belum. Berhijab tidak memastikan atau menjamin seorang muslimah pasti aman dari perbuatan dosa seperti akhlak yang buruk, perkataan yang buruk, dan pelanggaran lainnya. Namun akhlak yang baik itu wajib, baik sudah berhijab atau belum. Dan berhijab pun wajib, baik akhlak sudah baik atau pun belum.
4. “Saya belum dapat hidayah”
Hidayah itu dicari, bukan ditunggu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami, sungguh akan kami tunjuki kepada jalan Kami” (QS. Al Ankabut: 69). Oleh karena itu berhentilah menunggu hidayah, mulailah mencari hidayah. Bahkan berhijab adalah salah satu bentuk bersungguh-sungguh dalam mencari keridhaan Allah, semoga dengan itu menjadi sebab untuk menapaki jalan yang benar.

Peringatan bagi suami yang membiarkan istri dan anaknya tidak berhijab

Para suami wajib memerintahkan dan membimbing keluarganya untuk menaati ajaran agama. Bukan membiarkan mereka mengikuti kemauan masing-masing. NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak masuk surga orang yang durhaka terhadap orang tuanya, dayyuts (suami yang membiarkan keluarganya bermaksiat), dan wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Al Baihaqi, shahih). Ancaman yang mengerikan sekali bukan!? Oleh karena itu dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi membuat judul bab: “Bab wajib (bagi seorang suami) untuk memerintahkan istrinya dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melarang mereka dari semua penyimpangan serta wajib mengatur mereka serta mencegah mereka terhadap hal-hal yang dilarang agama”. Maka hendaknya para suami membimbing dan memerintahkan istri dan anak-anak perempuan mereka untuk berhijab yang syar’i. Tentunya didasari dengan ilmu yang benar serta dilakukan dengan cara yang hikmah dan bertahap.
Akhir kata, demikian risalah singkat ini. Semoga bermanfaat bagi kami yang menulisnya dan yang membacanya, di hari ketika tidak ada pertolongan kecuali pertolongan-Nya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua terkhusus kaum muslimah di negeri kita, Wabillahi at taufiq was sadad.

Penulis : Yulian Purnama, S.Kom (Alumni Ma’had Al’Ilmi Yogyakarta)

menumbuhkan rasa takut kepada Allah


without Allah
Buletin At-Tauhid edisi 41 Tahun XI
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercuah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, pernahkah kita merasa begitu mudahnya kita melanggar aturan Rabb kita? Begitu mudahnya hati ini menyepelekan maksiat yang kita lakukan. “Toh, Allah Maha Pengampun”. Begitu pikir kita untuk terus merasa aman dalam kedurhakaan. Berpikir kesempatan bertobat masih lama, sedang pintu neraka semakin terbuka. Hati tetap merasa tentram, padahal kain kafan kita sedang dianyam. Saudaraku, semua itu karena sedikitnya rasa takut kita kepada Allah Ta`ala……

Keagungan Amalan Hati
Rasa takut kepada Allah merupakan salah satu bentuk amalan hati seorang hamba kepada Rabb-nya. Adalah satu hal yang menyedihkan dan pantas menjadi renungan bagi kita, bahwa masih begitu banyak dari kita yang memberi perhatian besar terhadap amalan-amalan zhahir (amalan lahiriah), tetapi ternyata lalai dari amalan hati.
Padahal, amalan hati adalah penentu bagi amalan zhahir. Diterima-tidaknya amal dan besar-kecilnya pahala yang kita peroleh dari amalan zhahir sangat ditentukan oleh amalan hati.
Rasulullah shallahu`alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati..” (HR. Muslim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
”Sesungguhnya amalan-amalan zhahir (lahiriah) menjadi besar atau kecil nilainya tergantung apa yang ada di dalam hati, dan apa yang ada di hati bertingkat-tingkat. Tidak ada yang mengetahui tingkatan – tingkatan keimanan dalam hati manusia kecuali Allah Ta`ala” (Minhaajus Sunnah, 6/137)
Allah Ta`ala pun mengangkat derajat para sahabat radhiyallahu `anhum dengan sebab amalan-amalan hati mereka. Amalan zhahir mereka yang luar biasa memang bisa ditiru oleh generasi setelahnya. Akan tetapi, Allah tetap jadikan mereka istimewa, karena orang-orang yang datang setelah para sahabat tidak akan mampu menyamai amalan hati dan keimanan mereka.
Imam Abu Bakar bin `Ayyaasy (seorang ulama generasi tabi`in) rahimahullah mengatakan,
”Tidaklah Abu Bakar mengungguli para sahabat yang lain dengan banyaknya shalat dan puasa, tetapi karena sesuatu yang terpatri kokoh di dalam hatinya.” (Miftah Daris Sa`adah, 1/82)

Rasa Takut kepada Allah, Sifat Seorang yang Bertakwa
Rasa takut kepada Allah adalah sifat seorang yang bertakwa. Bahkan, hal tersebut merupakan bukti keimanan mereka kepada Alla Ta`ala. Allah telah sifati hamba-hambanya yang mulia, yaitu para Nabi `alaihimus salam, sebagai orang-orang yang senantiasa berdoa dengan rasa harap dan takut.
Allah Ta`ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” (QS. Al Anbiya: 90)

Semakin Berilmu, Semakin Takut Kepada-Nya
Allah Ta`ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah paraulama” (QS. Fathir: 28)
Syaikh Dr. `Abdul `Aziz bin Muhammad As-Sadhan hafizhahullah mengatakan,” (Di dalam ayat ini) Allah Ta’ala mengkhususkan dan menyifati para ulama dengan rasa takut kepada-Nya, karena mereka adalah orang yang paling mengenal Allah. Semakin besar pengenalan seorang hamba kepada Rabbnya, semakin besar raja’ (rasa harap) dan khauf (rasa takut) dia kepada Allah. (Ma`alim fi Thariq Thalabi al-`ilmi, hal. 13).
Rasa takut kepada Allah muncul dari sikap ma`rifatullah (mengenal Allah) yang mendalam. Seseorang yang berani bermaksiat kepada Allah, tidak lain disebabkan oleh minimnya rasa takut kepada Allah, dan hal tersebut tidak lain disebabkan kurangnya ilmu agama dan ma’rifatullah.

Menumbuhkan Rasa Takut Kepada Allah
Selanjutnya, bagaimanakah cara menumbuhkan rasa takut kepada Allah? Diantara caranya adalah :
  1. Menempuh jalan menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari al-Quran al-Karim dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih. Inilah Jalan yang paling tepat agar kita bisa menjadi hamba Allah yang hanya takut kepada-Nya.
Allah Ta`ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah paraulama” (QS. Fathir: 28)
Syaikh `Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, ” Semakin seseorang berilmu tentang Allah Ta`ala, semakin besar juga rasa takutnya kepada Allah. Rasa takutnya kepada Allah tersebut membuatnya meninggalkan  perbuatan maksiat dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Ayat ini sebagai dalil tentang keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang mendapat kemuliaan-Nya, seperti firman Allah Ta`ala (artinya),
’Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.’ (QS. al-Bayyinah: 8) (Taisir al-Karimir ar-Rahman, hal 656)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah dengan sebenar-benar rasa takut hanyalah para ulama yang memiliki pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah). Hal ini disebabkan semakin bertambah pengenalan seseorang terhadap Dzat Yang Maha Agung, Maha Kuasa, dan Maha Berilmu, Yang memiliki sifat yang Maha Sempurna disertai Asma’ul Husna, maka akan semakin bertambah dan sempurna pengetahuan seseorang kepada Rabbnya. Dengan demikian, ketakutannya kepada Allah akan semakin bertambah dan menguat. (Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, 3/697)
  1. Mengingat bahwa adzab Allah sangatlah pedih.
Allah Ta`ala berfirman (artinya): “hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur: 63)
Ingat juga seringan-ringan siksaan di neraka kelak adalah sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya, “Sesungguhnya penduduk neraka yang paling ringan siksanya ialah orang yang mengenakan dua sandal dari neraka lalu mendidih otaknya karena sangat mencekam panas dua sandalnya.” (HR. Muslim).
Pedihnya adzab Allah, sampai-sampai disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa setan berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah. Dan Allah sangat keras siksa-Nya” (QS. Al Anfal: 48)

Mereka yang Takut Kepada Allah
Dari Al-Qaasim bin Muhammad rahimahullah ia menceritakan :
”Suatu ketika kami pernah melakukan suatu perjalanan bersama Ibnul Mubarak. Seringkali terlintas dalam benakku (tentang kemasyhuran Ibnul Mubarak) hingga aku berkata pada diriku sendiri : ’Apakah gerangan yang membuat laki-laki ini lebih utama dibandingkan kami sehingga dia begitu terkenal di khalayak ramai? Jika dia shalat, kami pun melakukan shalat. Jika dia berpuasa, kami pun berpuasa. Jika ia berjihad, kami pun berjihad.”
Al-Qaasim rahimahullah pun melanjutkan :
“Dalam suatu perjalanan kami kemudian, ketika kami sampai di negeri Syam pada suatu malam. Kami sedang makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampu padam. Maka seorang diantara kami pun bangkit untuk mengambil lampu. [keluar untuk beberapa saat untuk menyalakan lampu, kemudian datang membawa lampu yang telah menyala]. (Setelah terang) aku melihat wajah dan jenggot Ibnul Mubarak telah basah karena air mata. Maka aku berujar pada diriku sendiri , “Dengan rasa takut inilah laki-laki ini lebih utama dibandingkan kami. Mungkin tadi ketika lampu padam, dan keadaan menjadi gelap, beliau teringat akan hari kiamat.” (Ayna Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 18-19)
Pembaca yang dirahmati oleh Allah, demikian uraian singkat yang semoga membuat kita tersadar untuk menumbuhkan rasa takut kepada Allah di dalam hati kita, sehingga menjaga kita dari perbuatan maksiat.
Sebagaimana yang dikatakan Sa’id bin Jubair rahimahullah , “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat.” (Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31).

Penulis : Bagas Prasetya Fazri (Alumni Ma’had al-‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Afifi Abdul Wadud